Apa yang Perlu Anda Ketahui mengenai Pungutan Ekspor Minyak Sawit Indonesia?
Pejabat Pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa pungutan ekspor minyak sawit yang baru saja disosialisasikan akan mulai diterapkan pada hari Kamis (16/07). Peraturan baru ini mengharuskan bahwa pungutan sebesar 50 dollar Amerika Serikat (AS) per metrik ton diterapkan untuk ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan beacukai senilai 30 dollar AS per metrik ton ditetapkan untuk ekspor produk olahan minyak sawit. Pungutan ekspor minyak sawit ini hanya perlu dibayar oleh para eksportir saat harga referensi CPO dari Pemerintah jatuh di bawah 750 dollar AS per metrik ton, yang secara efektif memotong pajak ekspor minyak sawit menjadi 0%.
Mengapa Pemerintah Indonesia Membutuhan Pungutan Baru Ini (Celengan Sawit)?
Indonesia adalah produsen dan eksportir minyak sawit mentah terbesar di dunia. Oleh karena itu, komoditi ini adalah salah satu penghasil devisa utama, secara signifikan berkontribusi pada pendapatan pajak dan juga kesejahteraan lokal di wilayah-wilayah yang kaya minyak sawit (Kalimantan dan Sumatra). Meskipun begitu, setelah tahun 2000an boom komoditi berakhir dan krisis global menyebabkan penurunan tajam harga komoditi, pendapatan yang dihasilkan dari industri minyak sawit menguap. Karena pertumbuhan perekonomian global tetap lambat, disebabkan oleh pertumbuhan yang melambat di Republik Rakyat Tiongkok (RRT), harga CPO global telah menurun lebih lanjut. Sejak September 2014, harga CPO yang menjadi referensi Pemerintah telah berada di bawah batasan 750 dollar AS per ton, mengimplikasikan tarif ekspor 0% mulai berlaku di bulan setelahnya (aturan tarif ekspor 0% ini didesain Pemerintah dalam rangka mendukung para eksportir minyak sawit, mendongkrak harga minyak sawit dan mendongkrak permintaan minyak sawit saat kondisi pasar lemah).
Namun karena harga referensi belum mengalami rebound, Pemerintah telah kehilangan pendapatan yang sangat dibutuhkan dari sektor ekspor minyak sawit. Oleh karena itu, pungutan ekspor yang baru diterapkan supaya Pemerintah terus mendapatkan pendapatan dari sektor minyak kelapa sawit saat harga2 CPO sedang rendah. Pemerintah Indonesia memperkirakan bahwa pungutan baru ini akan berkontribusi sekitar Rp 4,5 triliun untuk pendapatan negara di sisa tahun 2015. Meskipun begitu, ketika harga referensi minyak sawit melewati batasan 750 dollar AS per ton, maka pungutan ekspor ini akan dihapus yang berarti bahwa eksportir minyak sawit tidak akan menghadapi beban ganda (pajak ekspor ditambah pungutan ekspor) saat harga minyak sawit tinggi.
Untuk Apa Pungutan Ekspor Minyak Sawit ini Bisa Digunakan Pemerintah Indonesia?
Hasil dari pungutan ekspor minyak sawit yang baru ini akan digunakan untuk mendanai program subsidi biofuel Pemerintah. Di Februari 2015 Pemerintah Indonesia mengumumkan menaikkan subsidi biofuel dari Rp 1.500 per liter menjadi Rp 4.000 per liter dalam rangka melindungi para produsen biofuel domestik. Melalui program ini Pemerintah ingin mengkompensasi mereka untuk perbedaan harga antara diesel reguler dengan biodiesel yang terjadi karena rendahnya harga minyak mentah dunia (sejak pertengahan 2014). Selain mendanai subsidi-subsidi ini, hasil dari pungutan ekspor yang baru juga akan disalurkan untuk penanaman kembali, penelitian dan pengembangan sumberdaya manusia di industri minyak sawit Indonesia.
Melalui program biodiesel, Pemerintah menargetkan untuk memperbaiki neraca perdagangan Indonesia (mengurangi impor bahan bakar) dan menyerap kelebihan produksi minyak sawit. Di 2014, Pemerintah meningkatkan persyaratan campuran minyak sawit di dalam diesel dari 7,5% menjadi 10%, dan memerintahkan pembangkit-pembangkit listrik menggunakan campuran 20%.
Apabila harga referensi minyak sawit dari Pemerintah melebihi batasan 750 dollar AS per metrik ton (mengimplikasikan pajak ekspor kembali berlaku dan pungutan ekspor tidak berlaku), maka Pemerintah akan menggunakan sebagian dari pajak ekspor minyak sawit untuk mendanai program biodieselnya.
Implementasi Problematik Pungutan Ekspor Minyak Sawit Baru
Pungutan ekspor minyak sawit baru diumumkan pada Maret 2015, akhirnya ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo di bulan Mei 2015, namun masih menghadapi penundaan berulang-ulang (untuk beberapa bulan) karena isu-isu administratif dan masalah-masalah tentang pendirian badan publik yang bertugas mengumpulkan dan mengelola dana tersebut. Karena ketidakjelasan akhir-akhir ini mengenai waktu implementasi beacukai, sulit bagi para pedagang untuk menetapkan harga minyak sawit. Terlebih lagi, hal ini membangkitkan keraguan apakah pungutan ini akan efektif menghasilkan subsidi biodiesel yang direncanakan dan menunjukkan bahwa Pemerintah kurang kapasitas untuk mengimplementasikan dan juga mengkomunikasikan kebijakan yang jelas dan didesain dengan baik.
Produksi dan Ekspor Minyak Kelapa Sawit:
2008 | 2009 | 2010 | 2011 | 2012 | 2013 | 2014 | 2015¹ | |
Production (million metric tons) |
19.2 | 19.4 | 21.8 | 23.5 | 26.5 | 27.0 | 31.0 | 31.5 |
Export (million metric tons) |
15.1 | 17.1 | 17.1 | 17.6 | 18.2 | 21.2 | 20.0 | 19.5 |
Export (in USD billion) |
15.6 | 10.0 | 16.4 | 20.2 | 21.6 | 19.0 | 21.0 |
¹ menunjukkan prognosis
Sumber: Food and Agriculture Organization of the United Nations, Indonesian Palm Oil Producers Association (Gapki) and Indonesian Ministry of Agriculture
Bahas
Silakan login atau berlangganan untuk mengomentari kolom ini