BPS: Pemotongan Subsidi Listrik Meningkatkan Angka Inflasi & Kemiskinan
Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan rencana Pemerintah untuk memotong subsidi listrik untuk rumahtangga-rumahtangga penguna listrik 450 VA dan 900 VA (per 1 Januari 2016) mungkin akan menyebabkan kenaikan angka inflasi dan kemiskinan. Memotong jumlah subsidi listrik adalah bagian dari usaha Pemerintah untuk mengurangi subsidi energi yang mahal dan mengarahkan kembali dananya pada investasi produktif (contohnya program pembangunan infrastruktur atau kesejahteraan sosial). Terlebih lagi, lebih dari 20 juta penduduk Indonesia menikmati listrik subsidi, sementara mereka tidak diklasifikasikan sebagai (hampir) miskin.
Pemerintah Indonesia hanya ingin menyediakan subsidi listrik untuk 24,7 juta rumahtangga termiskin di Indonesia. Saat ini ada 28,59 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia (data Maret 2015), atau setara dengan 11,22% dari total populasi penduduk Indonesia. Selain itu masih ada jutaan orang Indonesia yang belum tersambung pada akses listrik negara ini (rasio kelistrikan negara ini mencapai 81,5% di akhir 2014). Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang memegang monopoli distribusi listrik di Indonesia, akan menaikkan tarif listrik untuk rumahtangga-rumahtangga pengguna listrik 450 VA dan 900 VA mulai dari 1 Januari 2016. Sebelumnya di tahun 2015, Pemerintah telah menghapus subsidi para pelanggan listrik dengan koneksi 1.300 VA dan 2.200 VA.
Statistik Kemiskinan dan Ketidaksetaraan Indonesia:
2007 | 2008 | 2009 | 2010 | 2011 | 2012 | 2013 | 2014 | 2015 | |
Kemiskinan Relatif (% dari populasi) |
16.6 | 15.4 | 14.2 | 13.3 | 12.5 | 11.7 | 11.5 | 11.0 | 11.2 |
Kemiskinan Absolut (dalam juta) |
37 | 35 | 33 | 31 | 30 | 29 | 29 | 28 | 29 |
Sumber: BPS
BPS menyatakan bahwa belanja listrik berkontribusi untuk sekitar 3,7% dari indeks harga konsumen dan karenanya tarif listrik yang lebih tinggi akan berdampak pada inflasi. Kendati begitu, lembaga ini belum menghitung angka persis dari besarnya dampak ini.
Pada hari Senin (02/11), BPS mengumumkan Indonesia mencatat deflasi sebesar 0,08% pada basis month-to-month (m/m) pada Oktober 2015, sejalan dengan prediksi, karena koreksi harga-harga makanan (termasuk berbagai jenis daging dan jenis cabe). Inflasi headline tahunan menurun menjadi 6,25% pada basis year-on-year (y/y) di bulan Oktober dari 6,83% (y/y) di bulan sebelumnya.
Inflasi di Indonesia:
Bulan | Monthly Growth 2013 |
Monthly Growth 2014 |
Monthly Growth 2015 |
Januari | 1.03% | 1.07% | -0.24% |
Februari | 0.75% | 0.26% | -0.36% |
Maret | 0.63% | 0.08% | 0.17% |
April | -0.10% | -0.02% | 0.36% |
Mei | -0.03% | 0.16% | 0.50% |
Juni | 1.03% | 0.43% | 0.54% |
Juli | 3.29% | 0.93% | 0.93% |
Augustus | 1.12% | 0.47% | 0.39% |
September | -0.35% | 0.27% | -0.05% |
Oktober | 0.09% | 0.47% | -0.08% |
November | 0.12% | 1.50% | |
Desember | 0.55% | 2.46% | |
Total | 8.38% | 8.36% | 2.16% |
Sumber: BPS
Inflasi di Indonesia 2008-2014:
2008 | 2009 | 2010 | 2011 | 2012 | 2013 | 2014 | |
Inflasi (annual percent change) |
9.8 | 4.8 | 5.1 | 5.4 | 4.3 | 8.4 | 8.4 |
Sumber: Bank Dunia
Lanjut Baca:
• Kemiskinan di Indonesia
• Penduduk Indonesia
• Inflasi di Indonesia
Bahas
Silakan login atau berlangganan untuk mengomentari kolom ini