Industri Kakao Indonesia: Tantangan bagi Petani Kakao Lokal
Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) memperkirakan ekspor kakao Indonesia akan menurun 37% menjadi 25.000 ton pada tahun 2016 dari estimasi 40.000 ton pada tahun ini. Dengan demikian, ekspor kakao Indonesia tetap akan menurun. Pada tahun 2014 Indonesia masih mengekspor senilai total 63.334 ton kakao. Ekspor kakao negara ini telah jatuh karena pemerintah menetapkan rezim pajak yang lebih ketat sejak pertengahan 2014. Pajak ekspor kakao sebesar 10%, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% dan pajak penghasilan sebesar 0,5%. Sementara itu, produksi kakao dalam negeri yang rendah juga ikut menyebabkan kinerja ekspor yang lebih rendah.
Zulhefi Sikumbang, Ketua Askindo, mengatakan pajak ekspor dan pajak pertambahan nilai pada kakao harus dihapuskan karena sebagian besar petani kakao Indonesialah yang harus menanggung biaya tambahan ini. Saat ini harga kakao domestik sekitar Rp 33.000 per kilogram di tingkat petani. Namun, tanpa pajak ekspor, harga ini akan naik menjadi Rp 36.000 per kilogram, kata Sikumbang. Selain itu, Indonesia sudah memiliki sektor hilir kakao, yang berarti bahwa petani yang memasok kakao untuk industri dalam negeri seharusnya tidak dibebani dengan pajak ekspor.
Menurut data terbaru dari Askindo, ekspor kakao Indonesia tercatat sebesar 33.783 ton pada periode Januari-Oktober 2015.
Sikumbang menambahkan bahwa sebelum pelaksanaan pajak ekspor kakao ada sekitar 60 eksportir (pedagang) kakao Indonesia. Namun, setelah penerapan pajak ekspor sekarang hanya tinggal tiga pelaku industri yang mengekspor kakao. Eksportir ini bukanlah pedagang tetapi hanya memasok kakao ke pabrik-pabrik mereka yang berlokasi di luar negeri.
Pajak ekspor juga telah menyebabkan kenaikan ekspor cocoa butter. Sampai akhir tahun 2015 Indonesia kemungkinan mengekspor 110.000 ton cocoa butter, naik dari realisasi sebesar 99.483 ton pada tahun lalu.
Produksi Kakao Indonesia
Sikumbang juga memberitahukan bahwa produksi kakao Indonesia diperkirakan hanya mencapai 320.000 ton pada tahun 2015 - rekor hasil produksi terendah - karena cuaca kering yang disebabkan oleh El Nino. Selain itu, Indonesia telah bersusah payah meningkatkan produktivitas kakao (saat ini di 400 kilogram per hektar) karena pohon-pohonnya sedang menua (maka menjadi lebih rentan terhadap penyakit). Sementara itu, beberapa petani kakao telah beralih ke tanaman pertanian yang lebih menguntungkan dan kurang padat karya seperti jagung, cengkeh, karet dan kelapa sawit.
Untuk mendorong produksi kakao Indonesia untuk melebihi 600.000 ton pada tahun 2015, Pemerintah meluncurkan program senilai 350 juta dollar Amerika Serikat (AS) pada tahun 2009. Selain itu, sekitar 100 juta dollar AS diinvestasikan pada awal 2015 untuk mendistribusikan bibit dan mendorong produktivitas kakao nasional. Namun, investasi ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Sikumbang mengatakan salah satu penyebabnya adalah Pemerintah belum berhasil dalam mendidik petani kakao tentang teknik bertani yang lebih baik.
Indonesia, produsen kakao terbesar ketiga di dunia, kini memiliki kapasitas pengolahan kakao sebesar 606.000 ton per tahun. Meskipun merupakan salah satu produsen kakao terkemuka, negara ini masih tetap mengimpor kakao (terutama dari Afrika dan digunakan untuk pencampuran). Pada tahun 2014 Indonesia mengimpor 109.409 ton kakao. Namun, karena pajak, semakin banyak hasil produksi kakao dikonsumsi dalam negeri. Pada periode Januari-Oktober 2015, impor kakao Indonesia tercatat sebesar 48.109 ton, turun secara signifikan dari impor tahun lalu. Namun, impor kakao Indonesia tahun depan diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 125.000 ton.
Pada tahun 2016 tantangan baru akan muncul di industri kakao Indonesia karena peraturan Pemerintah yang baru akan mulai berlaku (pada bulan Mei 2016). Peraturan baru ini mengharuskan petani lokal untuk memfermentasikan biji kakao untuk meningkatkan nilai sebelum diperbolehkan untuk menjual produk mereka.
Bahas
Silakan login atau berlangganan untuk mengomentari kolom ini