OECD mengenai Bonus Demografi, Proteksionisme & PDB Indonesia
OECD (Organization for Economic Co-operation and Development), sebuah lembaga internasional yang bekerja sama dengan pemerintah negara-negara untuk memahami faktor-faktor yang mendorong perubahan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup, berpandangan positif mengenai prospek perekonomian di Indonesia. Namun, institusi ini juga menekankan bahwa Indonesia perlu melaksanakan pekerjaan rumahnya dalam rangka mendapatkan keuntungan optimal dari bonus demografi negara dan bergabung dengan kelompok negara berpendapatan menengah ke atas.
Jose Angel Gurria, Sekretaris Jenderal OECD, mengatakan dalam siaran pers pada hari Rabu (25/03) bahwa, meskipun Indonesia telah menunjukkan performa lebih baik dibandingkan mitra-mitra regionalnya dan juga kebanyakan negara-negara berkembang lainnya, performa perekonomian negara ini bisa ditingkatkan dengan melaksanakan percepatan reformasi struktural. Perkembangan ini juga akan membawa keadilan kepada masyarakat supaya semua warganegara mendapatkan keuntungan setara dari buah-buah perekonomian (memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan untuk semua orang Indonesia).
Pada hari Rabu (25/03), OECD menerbitkan laporan tahunanya yang berjudul “Economic Survey on Indonesia” yang menilai kebijakan-kebijakan publik di balik performa perekonomian Indonesia dan kesuksesan mengurangi kemiskinan dalam satu dedake terakhir. Sejalan dengan institusi-institusi lain (seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan International Monetary Fund), OECD juga memuji keputusan Pemerintah Indonesia untuk menurunkan subsidi bahan bakar minyak secara drastis pada awal 2015, dan karenanya menciptakan ruang fiskal investasi publik untuk infrastruktur, pendidikan, dan jaminan sosial di Indonesia. Dengan reformasi harga bahan bakar sebagai salah satu penyebabnya, OECD memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,3% dalam basis year-on-year (y/y) pada 2015, naik dari 5,02% (y/y) di 2014. Pada 2016, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) diharapkan akan semakin cepat menjadi 5,9% (y/y). Mengenai neraca transaksi berjalan, OECD memprediksi bahwa Indonesia akan memiliki defisit sebesar 2.8% dari PDB pada 2015, dan sebesar 2,5% dari PDB pada 2016.
Namun, sebagai salah satu poin yang dikritik, OECD mendeteksi peningkatan tindakan-tindakan proteksionis oleh Pemerintah, dan karenanya menghalangi investasi asing, dan kemudian membatasi pertumbuhan ekonomi di negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini.
Juga pada hari Rabu, OECD secara resmi membuka kantornya untuk Asia Tenggara di Jakarta. Kantor ini akan berfungsi sebagai pusat institusi di Asia Tenggara untuk melaksanakan penelitian dan kerjasamanya dengan Pemerintah Indonesia dan juga pemerintah negara-negara lain di Asia Tenggara. Indonesia dianggap sebagai mitra kunci institusi ini. Selain dari kantor baru di Jakarta, OECD - bermarkas di Paris - telah memiliki kantor-kantor di Jerman, Jepang, Mexico dan Amerika Serikat.
Salah satu kunci kesuksesan perekonomian di masa mendatang adalah bonus demografi Indonesia. Pada saat ini, 43% dari total populasi penduduk (250 juta orang Indonesia) berada di bawah umur 25 tahun. Oleh karena itu, negara ini memiliki potensi sumber daya manusia yang lebih dari cukup, asal generasi muda ini bisa dididik dan diperlengkapi dengan keterampilan yang tepat. Oleh karena itu, kualitas pendidikan perlu ditingkatkan secara efektif dengan mengimplementasikan reformasi struktural seperti meningkatkan pelatihan guru dan meningkatkan akuntabilitas di sektor pendidikan. Bila Pemerintah gagal menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup, maka bonus demografi ini bisa berubah menjadi beban demografi.
Saran lain yang diberikan dalam laporan terakhir ini adalah mengenai sumber daya alam dan pertanian. Dalam rangka meningkatkan swasembada pangan (mengurangi tingkat kebergantungan pada impor makanan), negara ini perlu meningkatkan produksi pertanian dengan menyediakan dukungan teknis dan juga meningkatkan akses kredit para petani Indonesia. Pada saat ini, kebijakan swasembada pangan Indonesia terlalu proteksionis dan terlalu mahal untuk perekonomiannya menurut OECD. Berdasarkan OECD Foreign Direct Investment Regulatory Restrictiveness Index, Indonesia berada di ranking 4 sebagai rezim yang paling ketat untuk investasi asing luar negeri di antara 58 negara. Menurut laporan ini, kebijakan-kebijakan mengenai tujuan negara untuk kemandirian makanan sering bercampur dan membingungkan, termasuk masalah-masalah seperti “melindungi pendapatan petani, manajemen volatilitas harga makanan, dan mencapai swasembada pangan negara dengan mengurangi kebergantungan pada impor asing.”
Terakhir, OECD juga menekankan bahwa Indonesia seharusnya mempromosikan investasi untuk sumberdaya-sumberdaya geotermal dalam rangka mengurangi kebergantungan negara pada bahan bakar fosil.
Bahas
Silakan login atau berlangganan untuk mengomentari kolom ini
Sejalan dengan institusi-institusi lain, OECD juga memuji keputusan Pemerintah Indonesia untuk menurunkan subsidi bahan bakar minyak secara drastis pada awal 2015, dan karenanya menciptakan ruang fiskal investasi publik untuk infrastruktur, pendidikan, dan jaminan sosial di Indonesia. upcoming ico oix.li Pada 2016, pertumbuhan Produk Domestik Bruto diharapkan akan semakin cepat menjadi 5,9%. Mengenai neraca transaksi berjalan, OECD memprediksi bahwa Indonesia akan memiliki defisit sebesar 2.8% dari PDB pada 2015, dan sebesar 2,5% dari PDB pada 2016.