Pemerintah Indonesia Perangi Defisit Transaksi Berjalan
Setelah serangkaian data ekonomi yang baik (terutama data tenaga kerja di Amerika Serikat) pasar menduga Federal Reserve akan menaikkan tingkat suku bunganya pada kuartal kedua atau ketiga tahun ini dan karenanya dollar Amerika Serikat (AS) dapat bullish momentum (hampir menjadi posisi tertinggi selama 11 tahun terakhir). Karena prediksi yield yang lebih tinggi di AS, modal kembali masuk ke negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini. Pada saat yang sama, hal ini menimbulkan kerugian besar pada mata uang di negara-negara berkembang, termasuk nilai tukar rupiah yang turun 6% terhadap dollar AS pada tahun ini.
Bank sentral Indonesia (Bank Indonesia) telah memberikan sinyal pada berbagai kesempatan bahwa Bank Indonesia (BI) nyaman dengan nilai rupiah yang melemah. Kendati begitu, institusi ini memutuskan untuk melakukan intervensi beberapa kali (menggunakan cadangan devisa Indonesia) untuk memperlambat kejatuhan rupiah terhadap dollar AS beberapa minggu ini (untuk mencegah terjadinya terjun bebas nilai tukar rupiah). BI menganggap bahwa rupiah yang lemah adalah obat untuk defisit transaksi berjalan karena rupiah yang lemah membuat produk-produk ekspor Indonesia semakin kompetitif di pasar global dan hal ini seharusnya memperkuat nilai tukar rupiah pada jangka panjang. Pandangan ini juga menjadi alasan kenapa BI memotong tingkat suku bunga acuannya (BI rate) sebanyak 25 basis poin menjadi 7,50% pada 17 Februari 2015 (didukung dengan penurunan inflasi di Indonesia). Sekalipun tindakan ini menyediakan ruang untuk percepatan pertumbuhan ekonomi di negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara (yang bertumbuh dengan kecepatan 5,02% dalam basis year-on-year di 2014 yang merupakan tingkat pertumbuhan terlambat selama 5 tahun terakhir), hal ini juga menyebabkan tekanan tambahan pada nilai tukar rupiah. Sejak BI memotong suku bunga pinjamannya pada pertengahan Februari, rupiah telah melemah 3,4% terhadap dollar AS.
Rupiah Indonesia versus Dollar AS (JISDOR):
| Source: Bank IndonesiaIndonesia telah dilanda defisit transaksi berjalan sejak 2011 terutama karena defisit yang besar di neraca perdagangan minyak dan gas. Defisit transaksi berjalan berkurang menjadi 2,95% dari produk domestik bruto (6,1 miliar dollar AS) pada tahun 2014 dari 3,18% dari PDB pada 2013. Namun, pada tahun 2015, defisit transaksi berjalan diperkirakan akan kembali bertambah besar. BI memperkirakan bahwa defisit akan berkisar pada 3% dari PDB pada akhir tahun ini. Sekalipun neraca perdagangan migas seharusnya membaik secara signifikan tahun ini karena harga minyak dunia yang rendah (Indonesia adalah net oil importer) dan reformasi kebijakan bahan bakar bersubsidi, impor akan tetap tinggi di tahun ini karena impor barang-barang modal untuk pembangunan infrastruktur. Ini adalah perubahan yang positif untuk komposisi impor negara.
Pemerintah Indonesia juga bertekad untuk menyehatkan neraca transaksi berjalan (pengukuran paling luas mengenai aliran keluar masuknya devisa yang mencakup perdagangan, jasa, pembayaran bunga dan pengiriman uang). Pemerintah mengumumkan rencananya untuk memberikan tax allowance bagi para eksportir (yang mengekspor jumlah tertentu dari produk-produk mereka). Perusahaan-perusahaan yang menginvestasi kembali keuntungan-keuntungan mereka (dan bukannya mengirim pendapatan-pendapatan ke luar negeri) juga bisa menikmati keringanan pajak. Perusahaan-perusahaan akan diberikan potongan 30% di tagihan pajak pendapatannya untuk periode lima tahun. Mereka juga akan mendapat periode loss carry forward yang lebih lama untuk 10 tahun dan tingkat pajak pendapatan hanya 10% dari dividen yang repatriated. Pemerintah lebih lanjut merencanakan untuk menerapkan pajak impor anti-dumping sementara untuk produk-produk besi dan tekstil dalam sebuah upaya untuk mengurangi impor (pajak impor anti-dumping kini akan diterapkan segera tanpa harus menunggu hasil penyelidikan formal terlebih dahulu). Pemerintah juga berencana memberikan pembebasan visa ke empat negara dalam rangka mendorong kedatangan pengunjung dari negara lain dan meningkatkan pendapatan devisa di sektor pariwisata. Negara-negara ini adalah Jepang, Rusia, Republik Rakyat Tionghoa (RRT), dan Korea Selatan. Terakhir, Pemerintah berencana untuk menaikkan batasan kandungan etanol di biodesel (yang diolah dari minyak sawit) menjadi 15% (dari 10% pada saat ini) dalam sebuah upaya untuk mengurangi impor bahan bakar diesel. Di masa mendatang, angka ini akan dinaikkan menjadi 20% kemudian 30%. Meskipun Indonesia tidak memenuhi target biodiesel di 2014 - terutama karena hambatan-hambatan logistik dan infrastruktur - Pemerintah tetap bertekad untuk melindungi industri biofuel-nya dari harga minyak mentah dunia yang rendah, dan karenanya menyediakan lebih banyak subsidi untuk biofuel.
Bahas
Silakan login atau berlangganan untuk mengomentari kolom ini