Pertumbuhan Perekonomian Indonesia Jatuh di Bawah 5% di 2015?
Beberapa institusi internasional merevisi turun proyeksi mereka untuk pertumbuhan perekonomian Indonesia di 2015 karena investor asing telah kecewa dengan performa pemerintah Indonesia yang baru, sementara gambaran perekonomian global tetap jauh dari membaik. Goldman Sachs, JPMorgan Chase, Credit Suisse dan Nomura Holdings semuanya memotong proyeksi pertumbuhan perekonomian Indonesia tahun ini menjadi di bawah batasan 5% (year-on-year). Tahun lalu pertumbuhan perekonomian Indonesia menyentuh titik terendah selama lima tahun terakhir yaitu 5,02% di basis year-on-year (y/y).
Goldman Sachs yang bermarkas di Amerika Serikat (AS), sebuah firma perbankan investasi, sekuritas, dan manajemen investasi global, menurunkan proyeksi 2015-nya untuk Indonesia dari 5,3% (y/y) menjadi 4,9% (y/y). Institusi perbankan global lainnya di AS, JP Morgan Chase, adalah yang paling pesimistis di antara empat institusi yang telah disebutkan, memotong proyeksinya untuk pertumbuhan perekonomian di Indonesia di 2015 dari 5,3% (y/y) menjadi 4,4% (y/y).
Credit Suisse yang berbasis di Switzerland, sebuah firma jasa finansial multinasional, merevisi turun proyeksinya untuk pertumbuhan Proyek Domestik Bruto (PDB) Indonesia dari 5,1% (y/y) menjadi 4,8% (y/y). Terakhir, Nomura Holdings, sebuah perusahaan financial holding dari Jepang dan anggota dari Grup Nomura, memotong proyeksinya dari 5,2% (y/y) menjadi 4,8% (y/y).
Perlambatan pertumbuhan ekonomi, sebuah proses yang telah dialami oleh Indonesia sejak 2011, disebabkan oleh faktor-faktor global dan domestik. Di tingkat global, faktor kunci yang berpengaruh adalah (1) pertumbuhan perekonomian yang melambat, terutama perlambatan pertumbuhan di Republik Rakyat Tiongkok (sebuah mitra perdagangan kunci dari Indonesia) membawa kepada kejatuhan harga-harga komoditi, dan (2) ancaman pengetatan moneter di AS yang membawa kepada capital outflow dan pelemahan tajam rupiah (menyebabkan inflasi akibat impor mahal dan membatasi daya beli masyarakat).
Secara domestik, tingkat suku bunga yang tinggi (dengan BI rate acuan pada 7,50%) telah mengurangi daya beli masyarakat dan menyebabkan penurunan konsumsi domestik. Penjualan mobil dan motor yang melambat, dan juga perlambatan penjualan semen menginformasikan bahwa para konsumen Indonesia telah menjadi lebih berhati-hati tahun ini, sementara pejualan semen yang melambat memberitahukan kita bahwa aktivitas-aktivitas di firma-firma properti dan konstruksi telah melambat. Tingkat suku bunga yang tinggi yang ditetapkan Bank Indonesia diduga tidak akan dipotong dalam waktu dekat karena institusi ini berkomintmen untuk melawan inflasi tinggi, mengurangi defisit transaksi berjlan dan membatasi capital outflow menjelang pengetatan moneter lebih lanjut di AS.
Indonesia's Quarterly GDP Growth 2009–2015 (annual % change):
Year | Quarter I |
Quarter II | Quarter III | Quarter IV |
2015 | 4.71 | |||
2014 | 5.14 | 5.03 | 4.92 | 5.01 |
2013 | 6.03 | 5.81 | 5.62 | 5.72 |
2012 | 6.29 | 6.36 | 6.17 | 6.11 |
2011 | 6.45 | 6.52 | 6.49 | 6.50 |
2010 | 5.99 | 6.29 | 5.81 | 6.81 |
2009 | 4.60 | 4.37 | 4.31 | 4.58 |
Source: Statistics Indonesia (BPS)
Sementara itu, belanja infrastruktur Pemerinyah yang sangat dinantikan (salah satu janji Joko Widodo pada kampanye presidennya di 2014) belum juga direalisasikan. Setelah menghapuskan secara besar subsidi bahan bakar di Januari 2015, Pemerintah mengumpulkan dana tambahan untuk dibelanjakan pada pembangunan infrastruktur. Meskipun begitu, dana ini masih membutuhkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dulu. Di Februari 2015, Anggaran Perencanaan Belanja Negara Perubahan 2015 telah disetujui oleh DPR dan membuka jalan untuk pembangunan infrastruktur yang dipimpin Pemerintah.
Meskipun begitu, penundaan pembangunan infrastruktur dikombinasikan dengan perlambatan perekonomian yang berlanjut telah menyebabkan penurunan kepercayaan kepada kemampuan Joko Widodo untuk membawa bangsa ini pada percepatan pertumbuhan menjadi melebihi 7% (y/y) di 2019 (janji lain dalam kampanye presidennya). Terlebih lagi, Pemerintah telah menetapkan beberapa target yang sangat tidak realistis menurut kebanyakan analis domestik dan internasional. Contohnya, Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi pada 5,7% (y/y) di 2015 dan pertumbuhan perekonomian di cakupan 5,8%-6,2% (y/y) tahun depan.
Pemerintah juga menargetkan pertumbuhan pajak pedapatan menjadi sekitar 30% di 2015. Meskipun begitu target ini sangat tidak realistis karena rendahnya kepatuhan pajak di Indonesia, manajemen dan pengawasan keuangan Pemerintah yang lemah, jumlah yang rendah dari para pegawai pajak, dan perlambatan perekonomian. Dari periode Januari-April 2015, Pemerintah mengumpulkan pajak Rp 310,1 triliun, setara dengan hanya 24% dari target setahun penuh 2015 dan sedikit menurun dari pengumpulan pajak di periode yang sama di tahun lalu.
Sebelumnya, Bank Dunia telah merevisi turun proyeksi pertumbuhan perekonomian di Indonesia di 2015 dari 5,6% (y/y) menjadi 5,2% (y/y). Alasan-alasan utama untuk penurunan ini adalah performa ekspor Indonesia tetap lemah, sementara konsumsi domestik dibatasi oleh tingkat suku bunga yang tinggi.
Bahas
Silakan login atau berlangganan untuk mengomentari kolom ini