Rupiah Dipengaruhi Pemotongan Suku Bunga Bank Sentral Cina
Nilai tukar rupiah - sejalan dengan nilai tukar mata uang negara-negara berkembang lain di Asia - mengalami dampak negatif akibat pemotongan suku bunga di Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Menurut Bloomberg Dollar Index, nilai rupiah menurun 0,40% menjadi Rp 12,984 per dollar Amerika Serikat (AS) pada pukul 11:10 WIB pada hari Senin (02/03), sangat mendekati batasan yang menguatirkan yaitu Rp 13,000 per dollar AS. Pada hari Sabtu yang lalu (28/02), bank sentral RRT mengumumkan pemotongan suku bunga deposito (1 tahun) dan suku bunga pinjaman (1 tahun) sebanyak 25 point menjadi masing-masing 2,5% dan 3,5%.
Ini adalah kali kedua dalam hampir empat bulan terakhir bahwa People’s Bank of China (bank sentral dari negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia) memotong suku bunga acuannya, dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi yang sedang melambat dan melawan ancaman deflasi. Tindakan terkini dari bank sentral ini terjadi beberapa hari sebelum pertemuan tahunan parlemen di RRT. People’s Bank of China juga meningkatkan deposit-rate ceiling (batasan dari tingkat bunga maksimum yang bisa dibayar untuk deposito) dari 1,2 kali menjadi 1,3 kali, mengimplikasikan bahwa bank-bank di RRT kini bisa membayar dengan margin yang lebih tinggi di atas suku bunga acuan dari bank sentral. Ini akan mengurangi tekanan ekonomi yang menyebabkan para penabung di RRT mensubsidi hutang-hutang yang didanai dari investasi. Nilai tukar yuan melemah ke level terendah sejak Oktober 2012 setelah tindakan terakhir dari bank sentral ini.
Pendekatan kebijakan moneter yang lebih akomodatif dari People’s Bank of China diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang melambat di RRT. Baru-baru ini, State Information Center, sebuah lembaga penelitian milik pemerintah RRT, menerbitkan sebuah laporan yang memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi di RRT akan melambat menjadi 7% per tahunnya di kuartal pertama 2015. Selain banyak kekuatiran mengenai industri properti RRT, meningkatnya kepergian modal, dan kontrol yang lebih ketat terhadap hutang pemerintah, pertumbuhan ekonomi yang melambat di RRT juga disebabkan karena transformasi struktural dari sebuah negara dengan ekonomi yang didorong pertumbuhannya oleh perdagangan dan investasi menjadi sebuah negara yang didorong pertumbuhan ekonominya oleh konsumsi domestik.
Perekonomian di RRT bertumbuh sebanyak 7,4% di tahun 2014, yang merupakan level pertumbuhan ekonomi terendah dalam 24 tahun terakhir. Hal ini terutama disebabkan karena menurunnya pasar properti, kredit gagal, dan meningkatnya jumlah pinjaman yang buruk. Semua ini menguatkan dugaan-dugaan bahwa para pembuat kebijakan di RRT harus mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pelonggaran kebijakan moneter.
Pada hari Minggu (01/03), sebuah survei menunjukkan bahwa aktivitas di sektor pabrik di RRT berkontraksi dalam dua bulan berturut-turut yaitu pada Januari dan Februari 2015.
Yang menyebabkan tekanan lebih lanjut pada nilai tukar rupiah adalah laporkan yang dirilis pada hari Senin (02/03) bahwa HSBC Market Purchasing Managers' Index (PMI) di Indonesia menurun menjadi 47,5 di bulan Februari 2015 (dari 48,5 di bulan sebelumnya), ini merupakan skor terendah sejak survey ini dilaksanakan pada April 2011 (sebuah skor yang berada di bawah 50 menunjukkan kontraksi). Hari ini Badan Pusat Statistik (BPS) akan menerbitkan nilai tingkat inflasi resmi bulan Februari.
Bahas
Silakan login atau berlangganan untuk mengomentari kolom ini