Rupiah versus US Dollar; Faktor-Faktor yang Berperan
Dalam beberapa hari terakhir dollar Amerika Serikat (AS) kembali mendapatkan momentum bullish dan menguat terhadap sebagian besar mata uang termasuk rupiah. Dollar AS berada di bawah tekanan setelah Federal Reserve memberikan sinyal - kontras dengan ekspektasi pasar - bahwa Fed tidak akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat karena prospek pertumbuhan ekonomi AS dan inflasi AS belum ada di posisi yang diinginkan. Hal ini membuat aset pasar-pasar lebih menarik untuk jangka pendek. Namun, perkembangan ini tampaknya hanya berlangsung sebentar.
Nilai tukar rupiah telah melemah 0,32% menjadi Rp 13.059 per dollar AS pada pukul 11:11 Waktu Indonesia Barat pada hari Jumat (27/03) berdasarkan Bloomberg Dollar Index. Selain ancaman kenaikan suku bunga di AS dan permintaan dollar AS oleh perusahaan-perusahaan lokal Indonesia untuk membayar hutang pada akhir Maret, ada beberapa faktor penting yang mempengaruhi performa rupiah
• Konflik Timur Tengah
Salah satu faktor penting adalah pergolakkan di Timur Tengah (menyebabkan kenaikan tajam pada harga minyak mentah). Saudi Arabia, didukung oleh sekutu-sekutunya di Teluk Arab, membom instalasi-instalasi militer di Yemen untuk mengusir pemberontak Syiah (Houthis) yang telah memaksa Presiden Yemen Abed Rabbo Mansour Hadi untuk melarikan diri dari Yemen. Iran segera menyebut serangan udara Saudi sebagai sebuah 'invasi'. Karena itu, perang sipil di Yemen mungkin akan berubah menjadi konflik regional skala besar. Konflik ini menyebabkan para investor dunia ingin memiliki aset-aset aman (safe haven) seperti dollar AS.
• Initial Jobless Claims AS
Menurut data terakhir dari Departemen Tenaga Kerja AS, jumlah warga AS yang meminta tunjangan awal pengangguran dalam akhir minggu 21 Maret 2015 turun dari 291.000 menjadi 282.000, angka terendah dalam 5 pekan terakhir. Seperti biasa, data-data perekonomian - terutama mengenai angka pengangguran dan inflasi AS - yang memberikan sinyal perkembangan positif dalam perekonomian AS akan menuju pada ekspektasi bahwa suku bunga AS akan lebih cepat ditingkatkan dan karenanya aliran modal mengalir kembali dari negara-negara berkembang ke AS.
• Yunani dan Program Quantitative Easing Uni Eropa
Sementara itu, walaupun hanya sedikit pihak yang percaya bahwa Yunani akan berhenti menggunakan euro karena Yunani tampaknya berkomitmen untuk tetap menjadi anggota Uni Eropa, ketidakjelasan mengenai situasi hutang Yunani meningkat pada hari Rabu karena Yunani gagal mendapatkan dana cepat dari dana penyelamatan Uni Eropa untuk membantu mencegah potensi kebangkrutan bulan depan. Pada hari Senin mendatang, Yunani diharapkan untuk mempresentasikan daftar detail tindakan-tindakan reformasi yang akan dilakukannya kepada mitra-mitranya di Uni Eropa. Ketidakjelasan politik dan perekonomian selalu mendorong minat pada aset-aset yang dianggap aman, dan karenanya memperkuat dollar AS.
Terlebih lagi, program quantitative easing yang baru dilaksanakan oleh Bank Sentral Eropa (sebuah tindakan untuk meningkatkan inflasi dan pertumbuhan perekonomian di Uni Eropa) membuat mata uang euro melemah dan juga menarik turun nilai mata uang-mata uang yang dianggap beresiko seperti rupiah.
Indonesia diprediksikan akan melihat lebih banyak capital outflow di periode mendatang karena para investor asing kuatir mengenai penurunan tajam nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (menyebabkan kenaikan biaya impor), defisit transaksi berjalan Indonesia yang besar, dan jumlah hutang luar negeri (swasta) yang mencatat rekor tinggi. Sementara itu, pendapatan devisa negara telah dibatasi oleh lemahnya harga berbagai komoditi sejak akhir 2000an (mengurangi keuntungan didapat oleh ekspor karena nilai tukar rupiah yang lemah membuat produk-produk Indonesia lebih atraktif).
Hutang luar negeri sektor swasta Indonesia telah meningkat kira-kira tiga kali lipat sejak 2007. Berdasarkan data terakhir dari Bank Indonesia, hutang luar negeri sektor swasta mencapai 162,9 miliar dollar AS pada Januari 2015. Untuk para investor, hal ini menyebabkan kekuatiran besar mengenai neraca keuangan perusahaan di Indonesia karena rupiah yang lemah memperburuk situasi hutang untuk perusahaan swasta, terutama karena ada jumlah signifikan dari hutang swasta ini yang tanpa jaminan risiko (unhedged) dan mencakup hutang jangka pendek.
Setelah rupiah melemah lebih dari 25% terhadap dollar AS di 2013, menurun sekitar 2% di 2014, dan telah melemah sekitar 5% terhadap dollar AS pada tahun ini, banyak investor asing yang merugi karena keuntungan dari saham dan obligasi Indonesia menguap karena lemahnya rupiah. Contohnya, dalam dollar AS, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memiliki performa terburuk di wilayah Asia pada tahun ini, meskipun dalam rupiah IHSG telah meningkat lebih dari 3% pada tahun 2015 (IHSG telah dianggap 'mahal' dengan PE ratio 17 kali).
Oleh karena itu, lemahnya rupiah membuat para investor asing menarik diri dari memiliki aset-aset Indonesia. Karena investor asing berkontribusi sekitar 40% total transaksi di Bursa Efek Indonesia, Indonesia sangat merasakan dampak dari berkurangnya minat asing pada aset-aset Indonesia.
Nilai tukar rupiah yang menjadi acuan Bank Indonesia (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, disingkat JISDOR) melemah 0,47% menjadi Rp 13.064 per dollar AS pada hari Jumat (27/03).
Rupiah Indonesia versus Dollar AS (JISDOR):
| Source: Bank IndonesiaBahas
Silakan login atau berlangganan untuk mengomentari kolom ini