Bank Dunia Menerbitkan Indonesia Economic Quarterly "Reformasi di Tengah Ketidakpastian"
Hari ini, Bank Dunia menerbitkan edisi terbaru dari publikasi andalannya Indonesia Economic Quarterly berjudul “Reformasi di Tengah Ketidakpastian". Dalam edisi ini, lembaga yang bermarkas di Washington ini menyatakan bahwa kondisi global masih tetap tidak menguntungkan meskipun kondisi pasar keuangan telah stabil sejak Oktober. Sementara itu, Indonesia terkena dampak negatif dari kebakaran hutan dan kabut asap beracun akibat perbuatan manusia yang merugikan Indonesia kira-kira Rp 221 triliun (atau 1,9% dari produk domestik bruto negara ini) dalam waktu lima bulan.
Bank Dunia menghargai dorongan Pemerintah Indonesia untuk melakukan reformasi, berfokus pada meningkatan pertumbuhan investasi, revitalisasi industri dalam negeri, dan mendongkrak perdagangan. Salah satu tanda positif adalah belanja modal publik yang naik kira-kira 49,8% pada basis year-on-year (y/y) di kuartal 3 tahun 2015. Selain itu, Pemerintah akan semakin mengurangi pengeluaran untuk subsidi energi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, dan justru menaikkan belanja untuk pembangunan infrastruktur dan kesehatan serta program-program sosial. Terakhir, Pemerintah telah mengungkapkan tujuh paket stimulus ekonomi, berurusan dengan hal-hal seperti meningkatkan investasi, perdagangan, stimulus fiskal dan daya beli masyarakat.
Defisit fiskal Indonesia naik menjadi 2,5% dari produk domestik bruto (PDB) di bulan Oktober karena laju belanja Pemerintah semakin cepat, sementara pengumpulan pendapatan negara lebih rendah dari perkiraan (terutama karena pendapatan pajak yang lebih lemah). Bank Dunia memperingatkan bahwa bila pengumpulan pendapatan masih tetap lemah di kuartal terakhir tahun 2015 dan di tahun 2016, maka hal ini akan mengancam momentum belanja infrastruktur Pemerintah yang sedang terjadi.
Pada Oktober 2015, aset negara-negara berkembang mengalami rebound setelah terjadi penurunan kekuatiran di pasar mengenai perlambatan ekonomi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan kenaikan suku bunga Amerika Serikat (di dua bulan sebelumnya terjadi capital outflow besar-besaran dari pasar negara-negara berkembang). Kendati begitu, aliran modal masuk di negara-negara berkembang tidaklah kuat, sementara biaya peminjaman tetap relatif tinggi. Bank sentral Indonesia (Bank Indonesia) menjaga suku bunga acuannya (BI rate) pada 7,50% sejak Februari 2015. Selain ada kondisi pendanaan yang ketat, permintaan global untuk produk-produk ekspor Indonesia tetap lemah karena lambatnya pertumbuhan global dan harga-harga komoditi yang terus-menerus rendah.
Perekonomian Indonesia bertumbuh 4,7% (y/y) pada kuartal 3 tahun 2015, kira-kira pada laju yang sama dengan dua kuartal sebelumnya, didukung oleh pertumbuhan dalam belanja konsumsi dan modal Pemerintah. Di sisi lain, investasi swasta tetap rendah sementara indikator-indikator sentimen bisnis memberikan sinyal lemah yang berkepanjangan dan angka pengangguran Indonesia naik dari 5,9% di bulan Agustus 2014 menjadi 6,2% di kuartal 3 tahun 2015 (secara signifikan kontras dengan tren penurunan yang terjadi selama satu dekade terakhir).
Kebakaran hutan (di sejumlah bagian di pulau Sumatra dan Kalimantan) dan kabut asap beracun yang menyebar ke negara-negara lain di Asia Tenggara membatasi pertumbuhan PDB Indonesia. Antara bulan Juni dan Oktober, lebih dari 100.000 kebakaran hutan yang disebabkan oleh ulah manusia menghancurkan 2,6 juta hektar lahan. Biaya kerugian diperkirakan pada Rp 221 triliun (lebih dari dua kali lipat biaya rekonstruksi setelah tsunami di Aceh di akhir tahun 2004). Hasil produksi riil pertanian Indonesia menurun 4,9% (pada angka tahunan musiman yang disesuaikan di basis quarter-on-quarter) pada kuartal 3 tahun 2015.
Asumsi Ekonomi Indonesia dari Bank Dunia:
2014 | 2015F | 2016F | |
Real GDP (annual % change) |
5.0 | 4.7 | 5.3 |
Consumer Price Index (annual % change) |
6.4 | 6.3 | 4.6 |
Current Account Balance (% of GDP) |
-3.1 | -2.0 | -2.4 |
Budget Balance (% of GDP) |
-2.2 | -2.5 | -2.2 |
Sumber: Bank Dunia
Sementara itu, impor dan ekspor Indonesia jatuh ke level terendahnya sejak 2010 karena lemahnya aktivitas perekonomian domestik dan global. Karena impor menurun lebih cepat dibandingkan ekspor, defisit transaksi berjalan Indonesia juga menipis. Hal ini berhasil menurunkan sejumlah tekanan eksternal. Kendati begitu, aliran modal yang menurun menyebabkan defisit neraca pembayaran. Total aliran modal netto di tiga kuartal pertama dicatat pada 9,6 miliar dollar Amerika Serikat (AS), turun hampir 70% dari periode yang sama tahun lalu. Pembelian bersih investor asing untuk Surat Utang Negara (SUN) turun 54% (y/y) di 10 bulan pertama tahun 2015 (kehilangan daya tariknya karena rupiah yang tidak menarik), Sementara hutang Pemerintah berdenominasi mata uang asing naik 80%.
Inflasi headline turun di bawah 5% (y/y) di bulan November karena dampak dari kenaikan harga bahan bakar bersubsidi tahun lalu memudar. Kendati begitu, hal ini tidak akan membawa kepada kebijakan moneter yang lebih longgar karena lemahnya aliran modal dan tekanan pada rupiah (menjelang ancaman kenaikan suku bunga AS). Bank Indonesia mengimplementasikan beberapa tindakan untuk mengamankan stabilitas rupiah, mulai dari intervensi-intervensi valuta asing (valas) di pasar berjangka sampai penerbitan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berdenominasi mata uang asing. Bank sentral juga memperbarui persetujuan bilateral pertukaran mata uang dengan RRT.
Bank Dunia menyatakan bahwa risiko-risiko eksternal utama tetap tak berubah yaitu perlambatan yang lebih besar di pasar negara-negara berkembang (termasuk RRT), lambatnya pertumbuhan ekonomi global, harga-harga komoditi yang terus-menerus rendah dan volatilitas pasar keuangan karena ancaman kebijakan moneter yang lebih ketat di AS. Secara internal, ada risiko pengumpulan pendapatan publik yang lemah (karena pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah beralih ke sektor publik).
Lanjut Baca:
• World Bank Indonesia Economic Quarterly
Bahas
Silakan login atau berlangganan untuk mengomentari kolom ini