Rupiah & Saham Melemah Menjelang Pertemuan Kebijakan Bank Indonesia
Para investor jelas sedang menunggu hasil-hasil dari Pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia yang diadakan pada hari ini (19/05). Dalam pertemuan kebijakan ini, bank sentral Indonesia akan memutuskan pendekatan moneternya. Bagi banyak pelaku pasar, merupakan hal yang penting dan krusial untuk mempelajari apakah Bank Indonesia akan menyesuaikan kebijakan suku bunganya dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia (yang telah mencapai kecepatan terlambat dalam lima tahun terakhir di kuartal 1 tahun 2015).
Menjelang pengumuman hasil-hasil pertemuan, dijadwalkan untuk dirilis sore ini, saham Indonesia dan rupiah sedang melemah.
Setelah pasar saham Indoneisa dibuka pagi ini, saham segera jatuh lebih dari 0,30%. Meskipun begitu, pada pukul 11:43 WIB saham telah agak pulih namun masih down sekitar 0,17%. Sementara itu, rupiah telah melemah 0,24% menjadi Rp 13.170 per dollar AS menurut Bloomberg Dollar Index pada pukul 11:43 WIB.
Baik pemerintah maupun para pelaku bisnis telah meminta Bank Indonesia untuk memotong suku bunganya (terutama suku bunga acuannya BI rate) dalam rangka mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi (meskipun tugas utama bank sentral adalah untuk mengamankan stabilitas mata uang dan inflasi). Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia melambat menjadi 4,71% (y/y) di kuartal 1 tahun 2015 karena melemahnya performa ekspor (disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi global yang melambat dan harga-harga komoditi yang jatuh), tingkat suku bunga domestik yang tinggi dengan BI rate pada 7,50% (menyebabkan perlambatan aktivitas perekonomian domestik), dan belanja pemerintah yang lemah (karena perlu waktu sampai Februari untuk Anggaran Perencanaan Belanja Pemerintah Perubahaan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat).
Meskipun begitu, para pejabat Bank Indonesia telah menekankan bahwa bank sentral adalah institusi yang independen dan karenanya tidak bisa dipengaruhi oleh tekanan-tekanan dari pemerintah (untuk memotong suku bunga). Bahkan, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo dengan jelas menyatakan bahwa bank sentral akan mempertahankan posisi moneter yang ketat. Kendati begitu, pasar mungkin tidak sepenuhnya diyakinkan oleh kata-kata Martowardojo karena pada Februari 2015 bank sentral membuat kejutan dengan memotong suku bunga sebanyak 25 basis poin, sebuah tindakan yang diprediksi oleh hanya sedikit orang. Kini, sekali lagi kebanyakan analis setuju bahwa Bank Indonesia akan membiarkan kebijakan suku bunga tidak berubah karena stabilitas finansial Indonesia bisa melemah bila bank sentral memutuskan untuk memotong suku bunganya hari ini.
Bagaimana pemotongan suku bunga bisa membahayakan stabilitas finansial Indonesia?
• Inflasi semakin tinggi; karena kecepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih tinggi dari kebanyakan negara lain, tingkat inflasi Indonesia (pada umumnya) juga lebih tinggi. Bank Indonesia pada awalnya menargetkan tingkat inflasi antara 3,5% dan 4,5% (y/y) di 2015. Meskipun begitu, setelah melihat harga minyak mentah pulih di kuartal 1 tahun 2015, bank sentral menyesuaikan proyeksi inflasinya ke cakupan antara 4,0% menjadi 4,5% (y/y). Inflasi Indonesia berakselerasi menjadi 6,79% (y/y) di April 2015 karena tingginya biaya-biaya bahan bakar. Meskipun begitu, tekanan-tekanan inflasi diprediksi untuk meningkat di beberapa bulan ke depan karena bulan Ramadhan dijadwalkan untuk mulai di bulan Juli dan tahun ajaran baru mulai segera setelah itu. Karena peristiwa-peristiwa musiman ini inflasi Indonesia selalu memuncak pada periode Juni-Agustus (puncak musiman yang lain adalah Desember-Januari). Tingkat suku bunga yang lebih tinggi adalah strategi moneter untuk melawan inflasi. Oleh karena itu, menjelang ancaman percepatan inflasi, bank sentral mungkin tidak terlalu bersemangat untuk memotong suku bunga.
Inflasi di Indonesia:
Bulan | Monthly Growth 2013 |
Monthly Growth 2014 |
Monthly Growth 2015 |
Januari | 1.03% | 1.07% | -0.24% |
Februari | 0.75% | 0.26% | -0.36% |
Maret | 0.63% | 0.08% | 0.17% |
April | -0.10% | -0.02% | 0.36% |
Mei | -0.03% | 0.16% | |
Juni | 1.03% | 0.43% | |
Juli | 3.29% | 0.93% | |
Augustus | 1.12% | 0.47% | |
September | -0.35% | 0.27% | |
Oktober | 0.09% | 0.47% | |
November | 0.12% | 1.50% | |
Desember | 0.55% | 2.46% | |
Total | 8.38% | 8.36% | -0.08% |
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Inflasi di Indonesia 2008-2014:
2008 | 2009 | 2010 | 2011 | 2012 | 2013 | 2014 | |
Inflasi (annual percent change) |
9.8 | 4.8 | 5.1 | 5.4 | 4.3 | 8.4 | 8.4 |
Sumber: Bank Dunia
• Defisit transaksi berjalan pada saat ini masih lebar; tingkat suku bunga yang relatif tinggi juga merupakan sebuah taktik untuk melawan defisit transaksi berjalan karena daya beli domestik melemah dan karenanya impor seharusnya berkurang (defisit transaksi berjalan menandakan bahwa pengeluaran lebih banyak daripada pemasukan Indonesia dalam perdagangan internasional). Meskipun defisi transaksi berjalan membaik menjadi 1,8% dari produk domestik bruto (PDB) di kuartal 1 tahun 2015 (sebuah defisit senilai 3,8 miliar dollar AS dalam konteks absolut), bank sentral masih memprediksi bahwa defisit setahun penuh akan sekitar 3% dari PDB. Defisit 3% dari PDB dianggap secara umum sebagai batasan antara defisit transaksi berjalan yang bisa ditangani dan yang tak bisa ditangani. Sebuah defisit yang lebar juga menjadi alasan bagi para investor untuk segera membuang aset-aset Indoensia pada waktu-waktu gejolak perekonomian. Semakin tinggi defisit, semakin tinggi jumlah capital outflow dari Indonesia yang bisa terjadi. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk membatasi defisit transaksi berjalan sebelum adanya pengetatan moneter lebih lanjut di AS (suku bunga AS yang lebih tinggi) supaya jumlah capital outflow bisa terbatasi.
• Menurunnya rupiah; rupiah menjadi salah satu mata uang Asia dengan performa terburuk sejauh ini di tahun 2015 (terhadap dollar AS) dan pemotongan BI rate akan memberikan lebih banyak tekanan melemah terhadap rupiah. Sejak awal 2015, mata uang Indonesia melemah sekitar 5,5% terhadap dollar AS. Sejak Federal Reserve AS mulai mengetatkan kebijakan moneternya (menghilangkan program quantitative easing) telah terjadi momentum bullish dollar AS di seluruh dunia. Volatilitas mata uang telah berlanjut ke 2015 karena pasar tidak yakin kapan Federal Reserve akan melanjutkan mengetatkan pendekatan moneternya. Pada saat ini banyak analis memprediksi akan terjadi kenaikan suku bunga AS di September. Meskipun begitu, tindakan ini tergantung pada data AS dan karena data makroekonomi AS yang bercampur antara baik dan buruk menyebabkan ketidakjelasan yang berlanjut mengenai waktu kenaikan Fed Fund Rate.
Nilai tukar rupiah yang menjadi acuan Bank Indonesia (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, disingkat JISDOR) melemah 0,51% menjadi Rp 13.183 per dollar AS pada hari Selasa (19/05).
Rupiah Indonesia versus Dollar AS (JISDOR):
| Source: Bank IndonesiaDi Pertemuan Dewan Gubernur sebelumnya, Bank Indonesia menjaga BI rate pada 7,50%, deposit facility rate pada 5,50% dan lending facility rate pada 8,00%.
Terakhir, bank sentral memiliki strategi-strategi lain untuk meningkatkan likuiditas di pasar finansial (selain memotong suku bunga acuannya). Sebelumnya Bank Indonesia menyatakan bahwa BI mungkin akan menurunkan rasio loan to deposit (rasio LTD) yang berarti pertumbuhan kredit bank memiliki lebih banyak kesempatan untuk bertumbuh.
Bahas
Silakan login atau berlangganan untuk mengomentari kolom ini