Kakao
Biji kakao, buah dari pohon kakao, memperoleh nilai ekonomi penting karena merupakan unsur penting dalam produksi cokelat yaitu bahan makanan lezat dan populer di seluruh dunia yang biasanya digunakan dalam makanan ringan (snack dan pencuci mulut) dan minuman (setelah bijinya difermentasi, dikeringkan dan dipanggang). Biji kakao, yang berasal dari daerah tropis Amerika Tengah dan Amerika Selatan, dibawa ke Indonesia oleh bangsa Spanyol.
Biji kakao terbagi dalam tiga varietas utama, yaitu: Forastero, Criollo, dan Trinitario. Forastero merupakan varietas kakao yang paling banyak digunakan, menyumbang sekitar 90 persen terhadap produksi kakao global. Meskipun kualitas Forastero lebih rendah dibanding jenis kakao lainnya, biji kakaonya merupakan yang terbesar dan jauh lebih tahan terhadap penyakit. Varietas Criollo dianggap sebagai biji kakao dengan kualitas tertinggi, tetapi memiliki hasil panen yang lebih rendah dibanding Forastero dan selain itu juga kurang tahan terhadap penyakit.
Indonesia dalam Konteks Global
Indonesia merupakan salah satu produsen kakao utama di dunia. Saat ini, Indonesia merupakan produsen biji kakao terbesar ketujuh di dunia. Namun, tabel 1 menunjukkan bahwa produksi biji kakao Indonesia tidak signifikan jika dibandingkan dengan produsen utama: Pantai Gading.
Tabel 1; Negara Penghasil Biji Kakao Terbesar di Dunia (dalam 1,000 Ton Metrik):
Negara | 2020-2021 | 2021-2022 | 2022-2023 | 2023-2024* |
Pantai Gading | 2,248 | 2,121 | 2,241 | 1,800 |
Ghana | 1,047 | 683 | 654 | 580 |
Ekuador | 365 | 365 | 354 | 430 |
Kamerun | 292 | 295 | 290 | 300 |
Nigeria | 290 | 280 | 280 | 270 |
Brasil | 200 | 220 | 220 | 220 |
Indonesia | 170 | 180 | 180 | 160 |
Sumber: www.statista.com
International Cocoa Organization (ICCO), sebuah organisasi antarpemerintah yang didirikan pada tahun 1973 di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), memperkirakan produksi kakao global mencapai 4,382,000 ton pada tahun pemasaran 2023-2024. Dan mengingat produksi biji kakao Indonesia diperkirakan mencapai 160.000 ton pada periode yang sama, ini berarti bahwa Indonesia hanya menyumbang 3.65 persen terhadap produksi kakao global.
Jumlah ini sangat sedikit dibanding dengan Pantai Gading yang menyumbang 41.1 persen terhadap total produksi kakao dunia. Jadi, ketika masalah pasokan terjadi di Pantai Gading, ini bisa dengan cepat menyebabkan kenaikan harga kakao di pasar dunia.
Harga Biji Kakao Global
Grafik A menunjukkan bahwa sejak akhir tahun 2023 harga kakao telah meningkat secara struktural dan cepat, menyentuh serangkaian rekor tertinggi sepanjang masa. Akibatnya, harga manisan di seluruh dunia, mulai dari batang permen hingga cokelat panas, sangat terpengaruh.
Harga tinggi ini terjadi di tengah kekhawatiran atas kondisi cuaca buruk dan ketatnya pasokan biji kakao di Afrika Barat, yang menyumbang lebih dari 70 persen dari produksi kakao global.
Masalah yang lebih struktural adalah bahwa sebagian besar perkebunan biji kakao dijalankan oleh petani kecil (miskin) yang tidak memiliki uang untuk melakukan pemeliharaan yang tepat serta investasi dalam peremajaan pohon kakao.
Grafik A; Harga Kakao Berjangka pada tahun 2014-2024 (dalam Dolar AS per Ton):
Semua kekhawatiran ini juga membuat investor gelisah. Hedge funds (dana lindung nilai, yang merupakan kelas investor yang menggunakan uang yang dikumpulkan secara pribadi untuk membuat taruhan spekulatif) mulai hengkang dari perdagangan berjangka kakao pada pertengahan tahun 2023 karena fluktuasi harga di pasar meningkatkan biaya perdagangan mereka, dan dengan demikian mempersulit mereka untuk menghasilkan laba. Hengkangnya dana lindung nilai dan spekulan lainnya, yang pangsa pasarnya mencapai puncaknya pada 36 persen pada Mei 2023 (maka peran mereka agak besar terhadap harga global), menyebabkan likuiditas dalam pasar kakao turun, sehingga membuatnya lebih sulit untuk membeli dan menjual, memicu volatilitas ke rekor tertinggi, dan memicu lonjakan harga lebih lanjut.
Produksi Biji Kakao di Indonesia
Kakao merupakan komoditas pertanian unggulan yang menjadi sumber penghidupan bagi jutaan petani Indonesia dan menjadi sumber devisa penting bagi negara.
Yang cukup mengkhawatirkan adalah bahwa produksi biji kakao nasional Indonesia telah menunjukkan penurunan struktural sejak tahun 2018 (lihat tabel 2).
Tabel 2; Produksi Biji Kakao di Indonesia:
2019 | 2020 | 2021 | 2022 | 2023 | |
Produksi Biji Kakao (dalam ton) |
734,795 | 720,660 | 688,210 | 650,612 | 632,117 |
2005 | 2015 | 2016 | 2017 | 2018 | |
Produksi Biji Kakao (dalam ton) |
748,828 | 593,331 | 658,399 | 585,246 | 767,280 |
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Lebih menarik lagi jika statistik produksi kakao nasional Indonesia ini dibagi dalam tiga kategori produsen: (1) perkebunan besar negara, (2) perkebunan besar swasta, dan (3) petani kecil karena hal ini mengungkap informasi penting tentang sektor kakao Indonesia. Tabel 3 menunjukkan bahwa petani kecil menyumbang 99.88 persen dari produksi biji kakao nasional. Ini menyiratkan bahwa produksi di perkebunan besar negara dan swasta besar memainkan peran yang tidak signifikan.
Tabel 3; Produksi Biji Kakao di Indonesia per Kategori Produsen (dalam ton):
Tahun | Perkebunan Besar Negara |
Perkebunan Besar Swasta |
Petani Kecil | Total |
2003 | 32,075 | 31,864 | 634,877 | 698,816 |
2010 | 34,740 | 30,407 | 772,771 | 837,918 |
2015 | 11,616 | 19,369 | 562,346 | 593,331 |
2020 | 976 | 3,084 | 716,601 | 720,660 |
2021 | 171 | 1,596 | 686,443 | 688,210 |
2022 | 53 | 1,165 | 649,394 | 650,612 |
2023 | 27 | 740 | 631,350 | 632,117 |
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Sementara itu, tabel 3 juga menunjukkan bahwa produksi kakao di perkebunan besar milik negara dan swasta anjlok drastis selama dua dekade terakhir (meskipun kontribusinya sudah cukup kecil pada tahun 2003). Pada saat yang sama, produksi di perkebunan kakao milik petani kecil tetap stabil antara tahun 2003 dan 2023, meskipun di antara kedua tahun tersebut kita melihat cukup banyak volatilitas dalam produksi.
Sebagian dari tren-tren yang kelihatan di tabel 3 dapat dijelaskan oleh tren-tren yang kita lihat di tabel 4. Misalnya, penurunan tajam dalam produksi biji kakao di perkebunan besar milik negara dan swasta sangat terkait dengan penurunan luas perkebunan kakao mereka.
Tabel 4; Luas Perkebunan Biji Kakao di Indonesia per Kategori Produsen (hektar):
Tahun | Perkebunan Besar Negara |
Perkebunan Besar Swasta |
Petani Kecil | Total |
2003 | 49,913 | 53,211 | 861,099 | 964,223 |
2010 | 48,935 | 43,268 | 1,558,153 | 1,650,356 |
2015 | 15,171 | 26,776 | 1,667,337 | 1,709,284 |
2020 | 4,809 | 11,558 | 1,492,588 | 1,508,955 |
2021 | 674 | 8,218 | 1,451,504 | 1,460,396 |
2022 | 264 | 4,995 | 1,415,750 | 1,421,009 |
2023 | 228 | 4,776 | 1,388,386 | 1,393,390 |
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Jika kita mencermati provinsi mana yang menjadi pemasok utama biji kakao di Indonesia, pulau Sulawesi jelas mendominasi produksi biji kakao di Indonesia. Sulawesi Tengah menghasilkan sekitar 20 persen dari total biji kakao di Indonesia, diikuti oleh Sulawesi Tenggara dengan porsi 16 persen.
Baik di Sulawesi Tengah maupun Sulawesi Tenggara, petani kecillah yang menyumbang semua hasil biji kakao provinsi. Setelah Sulawesi, Sumatera adalah pulau penghasil biji kakao terbesar kedua di Nusantara. Namun, pulau dan wilayah lainnya sebenarnya tidak berarti dalam hal produksi kakao.
Tabel 5; Lima Provinsi Penghasil Biji Kakao Terbesar di Indonesia (2023):
Propinsi | Produksi Biji Kakao (ton) |
% dari Produksi Nasional Biji Kakao |
Sulawesi Tengah (Sulawesi) | 125,919 | 19.9% |
Sulawesi Tenggara (Sulawesi) | 101,736 | 16.1% |
Sulawesi Selatan (Sulawesi) | 79,776 | 12.6% |
Sulawesi Barat (Sulawesi) | 67,150 | 10.6% |
Lampung (Sumatra) | 45,639 | 7.2% |
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
[this page is being updated]