Terdapat dua jenis karet, yaitu (1) karet alam dan (2) karet sintetis. Karet alam terbuat dari getah (lateks) dari pohon karet, sedangkan karet sintetis terbuat dari minyak mentah.

Kedua jenis tersebut dapat saling menggantikan dan karenanya mempengaruhi permintaan (dan harga) masing-masing di pasar global; ketika harga minyak mentah naik (yang membuat karet sintetis lebih mahal), permintaan akan karet alam meningkat. Namun, ketika gangguan pasokan (suplai) karet alam membuat harga karet alam naik, maka pasar cenderung beralih ke karet sintetis.

Bagian ini membahas sektor karet alam Indonesia. Indonesia adalah penghasil karet alam terbesar kedua di dunia dan juga pengekspor terbesar kedua (setelah Thailand).

Indonesia Dalam Konteks Global

Pohon karet membutuhkan suhu tinggi yang konstan (26-32 derajat Celsius) dan lingkungan yang lembab supaya dapat berproduksi secara maksimal. Kondisi-kondisi ini ditemukan di Asia Tenggara, tempat sebagian besar karet alam dunia diproduksi. Sekitar 70 persen dari produksi karet alam global berasal dari Thailand, Indonesia, dan Vietnam.

Memerlukan waktu tujuh tahun untuk sebatang pohon karet mencapai usia produksinya. Setelah itu, pohon karet dapat berproduksi hingga 25 tahun lamanya. Namun, karena siklus yang panjang dari pohon ini, penyesuaian pasokan jangka pendek tidak dapat dilakukan.

Berdasarkan data dari Statista, Thailand tetap menjadi produsen karet alam terbesar di dunia pada tahun 2023, dengan produksi karet alam sebesar 4,71 juta metrik ton pada tahun itu. Di posisi kedua adalah Indonesia, dengan produksi sebesar 2,65 juta metrik ton.

Tabel 1; Lima Negara Penghasil Karet (Alam) Terbesar pada Tahun 2023:

Negara Produksi
(dalam ton)
1. Thailand 4,707,000
2. Indonesia 2,651,000
3. Pantai Gading 1,293,000
4. Vietnam 1,569,000
5. India   849,000

Sumber: Statista

Karet Alam di Indonesia

Produksi Karet Alam di Indonesia

Sebagai produsen karet alam terbesar kedua, Indonesia memasok karet dalam jumlah besar ke pasar global. Sejak tahun 1980an, sektor karet Indonesia telah mengalami pertumbuhan produksi yang stabil. Namun, tabel 2 menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan bertahap dalam produksi karet alam di Indonesia setelah tahun 2017.

Tabel 2; Produksi Karet Alam di Indonesia, 2008-2024:

2008 2009 2010 2011 2012 2013
Produksi
(juta ton)
2.74 2.44 2.73 2.99 3.01 3.24
2014 2015 2016 2017 2018 2019
Produksi
(juta ton)
3.15 3.14 3.36 3.68 3.63 3.30
2020 2021 2022 2023 2024 2025
Produksi
(juta ton)
3.04 3.04 2.72 2.24 2.60* n/a

* menunjukkan perkiraan Gapkindo
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Setelah mencapai puncak produksinya pada tahun 2017, produksi karet alam di Indonesia mulai menurun. Meskipun kemerosotan pada periode 2020-2021 sangat dipengaruhi oleh krisis COVID-19 (dan penyakit gugur daun yang menyerang perkebunan karet), sayangnya belum ada pemulihan ke tingkat pra-pandemi setelah krisis itu berakhir.

Perkebunan Karet di Indonesia

Kebanyakan produksi karet Indonesia berasal dari provinsi-provinsi berikut:

1. Sumatra Selatan
2. Sumatra Utara
3. Riau
4. Jambi
5. Kalimantan Barat

Sumatera Selatan merupakan pemasok karet terbesar karena provinsi ini menyumbang sekitar 25-30 persen terhadap produksi karet nasional.

Sebagian besar produksi karet nasional - sekitar 90 persen - dihasilkan oleh petani kecil. Oleh karena itu, perkebunan milik negara dan perkebunan besar milik swasta hanya berperan kecil dalam produksi karet nasional.

Yang menarik di tabel 3 yaitu pertumbuhan yang mengesankan dalam produksi karet di perkebunan rakyat kecil antara tahun 2002 sampai sekarang, sementara produksi di perkebunan besar (baik milik swasta maupun negara) telah menurun secara signifikan di periode yang sama. Ini berarti bahwa dalam hal produksi karet, Indonesia menjadi semakin bergantung pada petani kecil. Di bawah kami jelaskan mengapa hal ini merupakan situasi yang berisiko.

Tabel 3; Produksi Karet Kering di Indonesia per Status Pengusahaan:

     2002    2020    2021    2022    2023
Perkebunan Rakyat
(ton)
1,226,647 2,784,011 2,826,246 2,509,312 2,046,052
Perkebunan Besar Negara
(ton)
 187,386  143,475  131,550  112,627   98,352
Perkebunan Besar Swasta
(ton)
 199,687  109,662   87,518   95,142   96,422
Total
(ton)
1,613,720 3,037,348 3,045,314 2,717,081 2,240,826

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Untuk memahami tren yang terlihat pada tabel 3, kita perlu mencermati lebih teliti soal luas perkebunan karet di Indonesia. Luas total perkebunan karet Indonesia meningkat secara stabil antara tahun 2002 dan 2021. Pada tahun 2002, luas perkebunan karet nasional mencapai 3,34 juta hektare. Pada tahun 2021 luas total perkebunan karet nasional telah tumbuh menjadi 3,78 juta hektare, terutama karena perluasan perkebunan rakyat sehingga membantu mendorong peningkatan produksi karet nasional. Namun, terjadi penurunan luas perkebunan karet yang signifikan setelah tahun 2021, terutama karena penurunan luas perkebunan rakyat.

Tabel 4; Luas Perkebunan Karet di Indonesia:

     2002    2020    2021    2022    2023
Perkebunan Rakyat
(hektare)
2,825,476 3,368,186 3,433,275 3,263,127 2,850,196
Perkebunan Besar Negara
(hektare)
 244,339  132,882  129,254  128,764  122,879
Perkebunan Besar Swasta (hektare)  274,529  225,105  213,957  165,200  179,670
Total
(hektare)
3,344,344 3,726,173 3,776,486 3,557,091 3,152,745

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Produktivitas Perkebunan Karet Indonesia

Berdasarkan tabel 3 dan 4, ada hal menarik yang terjadi di Indonesia selama dua dekade terakhir. Sementara produksi karet nasional tumbuh sebesar 39,0 persen antara tahun 2002 dan 2023, luas total perkebunan karet nasional malah menyusut sebesar 5,7 persen (selama periode yang sama). Artinya, Indonesia memproduksi lebih banyak karet di perkebunan yang lebih sedikit. Dengan kata lain: produktivitas karet telah meningkat pesat di Indonesia.

Umumnya, di Indonesia, serangkaian faktor telah membuat petaninya (pada dasarnya petani komoditas pertanian apa pun) kurang produktif dibandingkan dengan petani di negara-negara lain. Misalnya, Indonesia hanya mampu menghasilkan 1.088 kilogram (kg) karet per hektar (ha) di provinsi penghasil karet teratasnya, Sumatera Selatan (dan produktivitas nasional jauh di bawah tingkat itu), sementara petani di Thailand menghasilkan rata-rata 1.800 kg karet per ha. Lagipula, di Vietnam (1.720 kg/ha) dan Malaysia (1.510 kg/ha) tingkat produktivitas karet juga jauh lebih tinggi dibanding di Indonesia.

Tabel 5; Provinsi dengan Produktivitas Karet Kering Tertinggi di 2023:

Provinsi Productivitas
(kg/ha)
1. Sumatra Selatan 1,088
2. Sumatra Barat 1,020
3. Riau 1,019
4. Jambi 1,008
5. Java Tengah 1,003

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Faktor-faktor utama yang menghambat produksi petani Indonesia adalah pohon-pohon yang sudah tua (sehingga produktivitasnya menurun), kurangnya keahlian dan teknologi para petani kecil, kurangnya kesiapan finansial, dan kurangnya dukungan dari pemerintah (dalam hal pemberian pinjaman lunak kepada petani serta program lainnya).

Jadi, meskipun produktivitas telah meningkat selama beberapa dekade belakangan ini, masalahnya adalah ketika perkebunan karet besar milik swasta dan negara mengalami penurunan, sektor ini menjadi semakin bergantung pada petani kecil. Masalah dengan petani kecil ini adalah mereka umumnya tidak memiliki modal, teknologi, dan keahlian untuk mengoptimalkan produktivitas (sementara perkebunan besar biasanya memiliki sumber daya keuangan untuk berinvestasi pada keahlian, pengetahuan, dan teknologi, termasuk program peremajaan pohon).

Harga Karet Dunia

Karena prospek positif di sektor perkebunan karet berkat harga karet dunia yang menarik (harga ini khususnya tinggi pada periode 2005-2014, sesuai boom komoditas pada tahun 2000an, lihat grafik di bawah), terjadi pergeseran dari komoditas seperti kakao, kopi, dan teh, ke arah pendirian perkebunan kelapa sawit dan karet di Indonesia. Bahkan setelah boom komoditas berakhir sekitar tahun 2012, harga karet dunia masih tetap tinggi untuk sementara waktu.

Namun, sejak akhir tahun 2014 harga karet dunia (kurang lebih) bergerak menyamping pada level yang cukup jauh dari posisi rekor tertingginya. Jadi, orang memang bisa bertanya-tanya apakah prospek perkebunan karet masih menguntungkan. Ini mungkin menjelaskan mengapa tabel 4 menunjukkan bahwa luas perkebunan karet telah menyusut secara signifikan selama beberapa tahun terakhir.

Harga karet dunia terutama dipengaruhi oleh permintaan dari industri ban karena industri ini menyumbang sekitar 60 persen dari konsumsi karet alam (sehingga menjadi pendorong utama harga karet).

Harga Karet Dunia, Juli 1997 - Desember 2024 (dalam sen USD/kilogram):

Realisasi Ekspor Karet Indonesia

Sekitar 75-80 persen dari produksi karet alam Indonesia diekspor, dengan pasar ekspor terbesar Jepang dan Amerika Serikat. Sementara itu, Tiongkok, India, dan Korea Selatan juga merupakan pembeli utama karet Indonesia.

Tabel 6; Negara Tujuan Utama Ekspor Karet Alam Indonesia di 2023:

Negara Distribusi Volume Ekspor Karet Alam
(% dari total ekspor karet alam Indonesia)
1. Jepang 22.8
2. Amerika Serikat 21.6
3. China 12.3
4. India 8.2
5. Korea Selatan 5.0

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Tabel 7 menunjukkan bahwa volume ekspor karet dari Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2017, dan kemudian terus menurun hingga tahun 2022 (kecuali tahun 2021 ketika terjadi sedikit peningkatan (rebound) setelah titik paling parah krisis COVID-19 lewat pada tahun 2020). Penurunan kinerja ekspor karet ini sangat disayangkan karena lewat ekspor karet (seluruh spektrum hulu-hilir) cukup banyak pendapatan devisa masuk ke dalam Indonesia.

Tabel 7; Statistik Ekspor Karet Alam Indonesia:

  2020 2021 2022 2023 2024 2025
Volume
(juta ton)
2.28 2.33 2.03 1.75  n/a  n/a
Nilai
(miliar USD)
3.01 4.01 3.54 2.48  n/a  n/a
  2014 2015 2016 2017 2018 2019
Volume
(juta ton)
2.62 2.63 2.58 2.99 2.81 2.50
Nilai
(miliar USD)
4.74 3.70 3.37 5.10 3.95 3.52
  2008 2009 2010 2011 2012
2013
Volume
(juta ton)
2.30 1.99 2.20 2.55 2.80 2.70
Nilai
(miliar USD)
6.06 3.24 7.33 11.76 7.86 6.91

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Ada 24 jenis produk karet yang diekspor oleh Indonesia. Namun, hanya tiga yang layak disebutkan di sini karena 21 kategori lainnya tidak signifikan. Namun, di antara ketiga kategori tersebut, ada satu yang benar-benar dominan. Sekitar 90 persen dari semua produk karet yang diekspor dari Indonesia adalah Technically Specified Natural Rubber (TSNR 20, dengan Kode HS 40012220).

Tabel 8; Tiga Besar Produk Ekspor Karet Alam Indonesia (dalam ton):

Jenis     2020     2021     2022     2023
Technically Specified Natural Rubber (TSNR 20)
(HS 40012220)
2,079,959 2,138,143 1,857,532 1,600,527
Technically Specified Natural Rubber (TSNR 10)
(HS 40012210)
 114,199  130,976  123,776  105,376
Ribbed Smoked Sheet Grade 1
(HS 40012110)
  68,764   55,206   44,362   37,447

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Realisasi Impor Karet Indonesia

Meskipun Indonesia memiliki surplus perdagangan yang lebar dalam hal karet alam (artinya ekspor karet alam jauh lebih unggul daripada impor karet alam), telah terjadi peningkatan kuat dalam impor karet alam dan sintetis masuk ke Indonesia selama dua dekade terakhir (meskipun peningkatan kuat ini berasal dari basis yang rendah).

Konsumsi karet domestik di Indonesia kebanyakan diserap oleh industri-industri manufaktur Indonesia (terutama sektor otomotif). Mengingat industri manufaktur industri susah berkembang dengan signifikan, konsumsi karet di pasar domestik hanya tumbuh dengan sedikit saja.

Industri hilir karet Indonesia masih belum banyak dikembangkan. Saat ini, negara ini tergantung pada impor produk-produk karet olahan karena kurangnya fasilitas pengolahan-pengolahan domestik dan kurangnya industri manufaktur yang berkembang baik. Rendahnya konsumsi karet domestik menjadi penyebab mengapa Indonesia mengekspor sekitar 85 persen dari hasil produksi karetnya. Kendati begitu, di beberapa tahun terakhir tampak ada perubahan (walaupun lambat) karena jumlah ekspor sedikit menurun akibat meningkatnya konsumsi domestik. Sekitar setengah dari karet alam yang diserap secara domestik digunakan oleh industri manufaktur ban, diikuti oleh sarung tangan karet, benang karet, alas kaki, ban vulkanisir, sarung tangan medis dan alat-alat lain.

Ekspor Karet Indonesia Menurut Jenis Mutu:

Type  2010  2011  2012  2013  2014  2015  2016
Lateks Pekat
('000 ton)
 12.9   9.5   7.6   5.9   0.5   6.4   6.0
Ribbed Smoked Sheet
('000 ton)
 60.2  67.3  66.7  69.3  68.3  80.4  78.4
Technically Specified Rubber
('000 ton)
2,279 2,370  n.a. 2,625 2,550 2,539 2,494
Lain
('000 ton)
  1.6   4.4   2.3

Sumber: Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo)

Sebagai importir karet terbesar di dunia, kebijakan-kebijakan RRT bisa memiliki dampak sangat luas bagi industri karet dunia. Di akhir tahun 2014, Pemerintah RRT memutuskan untuk menyetujui standar baru untuk impor senyawa karet. Kandungan karet mentah yang diizinkan dalam senyawa karet yang diimpor dikurangi dari 95-99,5 persen menjadi 88 persen, mengimplikasikan bahwa impor senyawa karet ke RRT dikenai beacukai impor 20% (tarif yang sama dengan beacukai impor karet alam). Kebijakan RRT yang baru ini adalah pukulan bagi para suplier karet dari Indonesia karena menyebabkan penurunan penggunaan senyawa karet di negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia.

Masalah lain adalah AS memindahkan ban buatan Indonesia dari sistem preferensi umumnya (generalized system of preference). Program AS ini didesain untuk mendukung negara-negara berkembang dengan memotong beacukai impor dan pajak untuk kira-kira 5.000 produk dari 123 negara. Ban buatan Indonesia dipindahkan dari daftar sistem ini karena AS meyakini bahwa industri ban Indonesia sudah cukup kompetitif. Ini berarti ekspor ban ke AS kini dikenai pajak impor 5 persen.