Sejarah Indonesia: Politik dan Ekonomi di Bawah Sukarno
Pada pertengahan 1960an, perpolitikan dan perekonomian di Indonesia berada di dalam bencana. Setelah kemerdekaan di tahun 1945 (dan penghentian konflik dengan Belanda di tahun 1949), negara muda ini dilanda dengan politik internal yang berbahaya karena beberapa kekuatan politik - termasuk militer, nasionalis, partai-partai Islam, dan komunis - saling berlawanan satu sama lain. Selama satu dekade, Sukarno, Presiden pertama Indonesia, cukup sukses untuk membendung ancaman dari kekuatan-kekuatan ini dengan menggunakan kekuatan kharismanya. Namun, pada pertengahan 1960an, kegagalannya terbukti nyata.
Setelah Pemerintah Kolonial Belanda - karena tekanan internasional - telah melepaskan kontrol atas wilayah Indonesia di tahun 1949 (kecuali bagian Barat dari Pulau Papua), negara muda ini menghadapi tugas sulit untuk membangun pemerintahan dan kebangsaan melalui sistem parlementer. Menjadi jelas bahwa bangsa ini terdiri dari berbagai kelompok yang semuanya bersaing meraih kekuatan politik dan ingin memaksakan pandangan mereka pada negara baru ini.
Sebelumnya, selama periode kolonial, kelompok-kelompok ini telah ada. Namun, mereka memiliki satu musuh bersama - para penjajah Belanda - yang berarti mereka harus mengesampingkan perbedaan-perbedaan mereka. Setelah kemerdekaan, perbedaan-perbedaan ini kembali terasa nyata. Melalui konsep Pancasila (lima prinsip dari dasar filosofi resmi Indonesia, diperkenalkan pada 1945) Sukarno mencoba menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda ini di dalam sebuah bangsa yang baru (dan sangat pluralistis).
Pancasila Indonesia adalah gabungan dari elemen-elemen sosialisme, nasionalisme, monoteisme dan berfungsi sebagai pemersatu dari semua ideologi yang ada di masyarakat Indonesia (penerus Sukarno, Suharto, kemudian menggunakan konsep Pancasila sebagai alat kuat untuk menekan pihak-pihak lain pada masa pemerintahan otoriter Orde Baru). Satu-satunya kelompok yang keberatan dengan Pancasila yang diformulasikan oleh Sukarno adalah kelompok Muslim ortodoks. Mereka ingin ada tambahan bahwa umat Muslim harus mempraktekkan syariat Islam. Hal ini tidak disetujui oleh Sukarno karena akan membahayakan persatuan bangsa. Kendati menjadi rumah dari populasi Muslim terbesar di dunia, ada jutaan pemeluk agama Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha dan juga ada kelompok Muslim tradisional yang besar (yang tidak mendukung pemberlakuan syariat Islam).
Kurangnya konsensus antara berbagai kelompok mengenai 'Indonesia seharusnya seperti apa?' menjadikan proses memerintah negara kepulauan yang besar ini menjadi tugas yang berbahaya. Isu-isu lain juga problematik. Contohnya, pulau-pulau di luar Jawa (yang diberkahi dengan sumberdaya alam yang melimpah) tidak menyukai dominasi politik dan ekonomi Jawa. Sebagai akibatnya, terjadi serangkaian pemberontakan di tahun 1950an. Ada Darul Islam di Jawa Barat, gerakan pemisahan diri di Maluku Selatan, dan pemberontakan-pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).
----------------------
Apa yang dimaksud dengan Pancasila Indonesia?
• Ketuhanan yang Maha Esa
• Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
• Persatuan Indonesia
• Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan, Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan
• Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
----------------------
Menarik untuk memperhatikan hasil dari pemilihan umum (pemilu) legislatif pertama di Indonesia (dilakukan di tahun 1955). Dalam pemilu ini 90% dari elektorat berpartisipasi dan pemilu pertama ini dianggap dilaksanakan secara jujur dan adil. Karena keadaan masyarakat yang terpecah-pecah, hasil pemilihan juga terpecah-pecah. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Sukarno meraih 22,3% suara, dan dua partai Islam besar yaitu Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU) masing-masing meraih 20,9% dan 18,4% suara. Terakhir, Partai Komunis Indonesia (PKI) meraih 16,4% suara.
Ketika kondisi politik negara ditandai oleh ketidakjelasan dan ketidakstabilan yang besar, ini menjadi masalah berat yang menghambat pertumbuhan ekonomi karena sektor swasta ragu untuk berinvestasi. Sekalipun pada tahun-tahun awalnya setelah kemerdekaan Indonesia mengalami sedikit perkembangan ekonomi, perkembangan ini segera hilang karena ketidakstabilan situasi politik (terutama setelah pemberontakan-pemberontakan wilayah dan nasionalisasi aset-aset Belanda pada 1957-1958). Pada tahun 1960an, ekonomi Indonesia dengan cepat hancur karena hutang dan inflasi, sementara ekspor menurun. Pendapatan devisa dari sektor perkebunan jatuh dari 442 juta dollar Amerika Serikat (AS) pada tahun 1958 ke 330 juta dollar AS di tahun 1966. Puncak inflasi berada di atas 100% (year-on-year) pada tahun 1962-1965 karena pemerintah dengan mudahnya mencetak uang untuk membayar hutang dan mendanai proyek-proyek megah (seperti pembangunan Monas). Pendapatan per kapita Indonesia menurun secara signifikan (terutama di tahun 1962-1963). Sementara itu, bantuan asing yang sangat dibutuhkan berhenti mengalir setelah Sukarno menolak bantuan dari AS dan mengeluarkan Indonesia dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena masuknya Malaysia sebagai negara anggota PBB (Indonesia menentang pendirian Malaysia pada tahun 1963). Sebaliknya, Sukarno menjalin hubungan lebih erat dengan Republik Rakyat Tionghoa dan Korea Utara.
Pemerintahan Sukarno menerbitkan Rencana Delapan Tahun pada 1960 sebagai usaha untuk membuat negara ini memiliki swasembada makanan (terutama beras), pakaian dan kebutuhan-kebutuhan dasar dalam periode 3 tahun. Lima tahun setelah itu direncanakan menjadi periode pertumbuhan mandiri. Namun, masterplan ini ditinggalkan pada tahun 1964 karena ekonomi yang menurun dan target-target yang tidak bisa tercapai. Faktanya, perekonomian jatuh bebas karena hiperinflasi, pengurangan sumber pajak, dan juga larinya dari aset keuangan menjadi aset real. Politik Konfrontasi yang mahal terhadap Malaysia juga menyerap porsi signifikan dari pengeluaran pemerintah.
Indikator-Indikator Perkembangan Ekonomi Indonesia, 1960-1965:
1960 | 1961 | 1962 | 1963 | 1964 | 1965 | |
NDP, 1960 Prices (IDR billion) |
391 | 407 | 403 | 396 | 407 | 430 |
Per Capita Income (% change) |
-1.6 | 1.7 | -3.0 | -4.0 | 0.3 | 3.2 |
Money Supply (M1) (% increase) |
37 | 41 | 101 | 94 | 156 | 302 |
% Increase due to Budget Deficit |
19 | 134 | 97 | 115 | 104 | 90 |
Budget Deficit as % of expenditure |
17 | 30 | 39 | 51 | 58 | 63 |
Inflation (CPI, % increase) |
20 | 95 | 156 | 129 | 135 | 594 |
Sumber: The Indonesian Economy, Hal Hill
Campuran politik ciptaan Sukarno (mencakup komunis, agama, dan militer) terbukti menjadi sebuah bom waktu. Kekacauan total terjadi setelah kudeta misterius pada 30 September 1965 dan pihak militer lah yang menjadi pemenang di tengah kekacauan. Perlahan, Jenderal Suharto berhasil mengambil alih kekuasaan dari Sukarno pada periode 1965-1967 (pada tahun 1967, Suharto secara resmi dilantik menjadi Presiden Kedua Indonesia). Salah satu prioritas utama Suharto adalah meningkatkan kondisi perekonomian Indonesia. Dia mengandalkan sebuah tim ahli ekonomi yang dilatih di AS untuk memulai periode rehabilitasi dan pemulihan ekonomi. Pada tahun 1966-1970, pemerintah berhasil mengontrol inflasi, membangun kembali hubungan-hubungan internasional sehingga bantuan asing (foreign aid) yang sangat dibutuhkan bisa masuk ke Indonesia, memulai rehabilitasi infrastruktur fisik, dan memperkenalkan peraturan baru yang menarik pihak asing untuk berinvestasi di Indonesia. Ini akan menandai awal Keajaiban Orde Baru Suharto.
Bahas
Silakan login atau berlangganan untuk mengomentari kolom ini