Batubara di Indonesia
Batubara tetap menjadi sumber energi yang krusial di dunia saat ini, terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Alasannya adalah karena batubara merupakan bahan bakar yang harganya terjangkau, efisien, dan andal. Pada bagian ini kita akan membahas peran batubara dalam sektor energi Indonesia.
Apa Itu, Batubara?
Batubara, sebuah batuan sedimen mudah terbakar yang utamanya terdiri dari karbon (bersama dengan berbagai jumlah elemen lain seperti hidrogen, sulfur, dan oksigen), adalah bahan bakar fosil yang terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan purba yang terkompresi (dan dipanaskan) selama jutaan tahun, biasanya di lingkungan rawa atau lahan basah.
Berat lapisan di atasnya dan panas serta tekanan alami Bumi mengubah materi tumbuhan menjadi gambut terlebih dahulu. Gambut, yang merupakan prekursor batubara, dulunya merupakan bahan bakar penting tetapi saat ini sebagian besar digunakan dalam hortikultura (gambut moss).
Penguburan, panas, dan tekanan lebih lanjut selama jutaan tahun mengubah gambut menjadi batubara. Saat ini, batubara terutama dikenal karena perannya sebagai sumber bahan bakar untuk menghasilkan listrik di pembangkit listrik.
Jika kita menengok ke belakang dalam sejarah, terdapat bukti bahwa batubara telah digunakan oleh manusia untuk pemanas pada zaman kuno (sejak 4,000 tahun sebelum Masehi, di Tiongkok). Namun, Revolusi Industri pada abad ke-18 menandai titik balik yang signifikan karena pengembangan mesin uap, yang ditenagai oleh batubara, memicu peningkatan konsumsi batubara secara dramatis. Nyatanya, batubara menjadi sumber bahan bakar utama untuk pabrik, pemanas, dan transportasi (termasuk lokomotif uap dan kapal).
Baik pada abad ke-19 maupun abad ke-20, batubara tetap menjadi sumber bahan bakar yang dominan seiring dengan meluasnya penggunaannya sejalan dengan ekspansi pembangkitan listrik. Penggunaan batubara, nyatanya, mencapai puncaknya pada awal abad ke-20.
Meskipun batubara masih banyak digunakan saat ini di seluruh dunia pada abad ke-21, dominasinya telah menurun dengan munculnya sumber energi lain, seperti minyak bumi, gas alam, dan energi terbarukan. Faktor lain yang juga menekan batubara adalah meningkatnya kekhawatiran tentang kontribusi batubara terhadap pemanasan global atau perubahan iklim. Namun, terlepas dari upaya negara-negara Barat untuk mengurangi konsumsi batubara global, baik produksi maupun konsumsi batubara telah mencapai tingkat rekor tertinggi saat ini.
Sementara itu, Indonesia merupakan pemain kunci dalam pasar batubara global karena negara ini termasuk di antara pemasok dan eksportir utama dari 'bahan bakar kotor' ini. Bahkan, Indonesia juga mengkonsumsi sejumlah besar batubara (terutama di pembangkit listrik).
Sifat Terbatas dan Kotor Batubara: Menuju Perubahan
Menarik untuk dicatat bahwa batubara adalah sumber bahan bakar yang dapat habis karena cadangannya terbatas. Mengingat dibutuhkan jutaan tahun bagi batubara untuk terbentuk (mengimplikasikan bahwa cadangan tidak dapat ditingkatkan dalam jangka pendek), batubara dianggap sebagai sumber yang tidak dapat diperbarui (setidaknya dalam skala waktu manusia). Mengingat sifatnya yang terbatas, harga batubara kemungkinan akan naik dalam jangka panjang (dalam sekitar satu abad mendatang, asalkan permintaan batubara global tetap kuat) karena pembeli akan bersaing untuk pasokan yang semakin langka di masa depan.
Hal di atas menunjukkan bahwa konsumen batubara mungkin perlu mengubah model bisnis mereka dalam beberapa dekade mendatang untuk menghindari kenaikan biaya, misalnya, dengan beralih ke sumber energi lain. Ini adalah sesuatu yang perlu diingat oleh produsen batubara. Hal ini akan menjadi sangat relevan jika kemajuan lebih lanjut dicapai dalam sumber energi terbarukan, termasuk sistem penyimpanan (menjadi lebih efisien dan terjangkau). Memang, kita telah melihat beberapa perusahaan pertambangan batubara Indonesia beradaptasi, mencerminkan tren global yang berkembang di antara perusahaan bahan bakar fosil untuk beradaptasi dengan transisi energi dan mendiversifikasi portofolio mereka ke arah sumber energi yang lebih bersih.
Masalah utama yang dimiliki batubara adalah bahwa ia merupakan kontributor utama gas rumah kaca karena pembakaran batubara melepaskan sejumlah besar karbon dioksida (CO2) yang diyakini bertanggung jawab atas perubahan iklim dan pemanasan global. Batubara memiliki kandungan karbon per unit energi yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan bahan bakar fosil lainnya seperti gas alam, dan oleh karena itu merupakan bahan bakar yang lebih kotor.
Selain itu, pembakaran batubara melepaskan berbagai polutan udara berbahaya, termasuk sulfur dioksida, nitrogen oksida, partikulat, merkuri, arsenik, dan beberapa logam berat (lainnya). Pembakaran batubara juga menghasilkan sejumlah besar abu, termasuk abu terbang dan abu dasar yang dapat mengandung logam berat dan zat beracun lainnya.
Jadi, singkatnya, batubara dianggap sebagai bahan bakar kotor karena seluruh siklus hidupnya, mulai dari ekstraksi hingga pembakaran (dan pembuangan limbah), melepaskan sejumlah besar polutan ke udara, air, dan tanah. Hal ini menimbulkan ancaman bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Ini menjelaskan mengapa ada dorongan besar untuk bertransisi menuju sumber energi yang lebih bersih dan lebih berkelanjutan.
Batubara Laris di Asia Pasifik
Jika kita melihat konsumsi batubara saat ini, sangatlah menarik bahwa konsumsi batubara menurun di sebagian besar dunia, kecuali di kawasan Asia Pasifik. Di sini, di Asia Pasifik, Tiongkok dan India memainkan peran besar sekali dalam pasar batubara. Sementara Tiongkok tetap menjadi konsumen batubara terbesar di dunia, India adalah raksasa konsumen batubara yang sedang berkembang. Sejak tahun 2023, konsumsi batubara di India telah melampaui gabungan konsumsi batubara Eropa dan Amerika Utara.
Pada tahun 2023, produksi batubara global mencapai tingkat tertinggi sepanjang sejarah yaitu 179,2 eksajoule (EJ), melampaui rekor sebelumnya yang tercatat pada tahun 2022. Kawasan Asia Pasifik menyumbang hampir 80 persen dari produksi batubara global pada tahun 2023 dengan aktivitas terkonsentrasi di empat negara: Tiongkok, India, Indonesia, dan Australia (yang bersama-sama bertanggung jawab atas 97 persen dari produksi batubara kawasan tersebut). Sementara itu, Tiongkok sendiri bertanggung jawab atas lebih dari separuh total produksi global.
Tabel 1; Negara-Negara Penghasil Batubara Teratas pada Tahun 2023:
Negara | Produksi Batubara (dalam jutaan ton) |
Kontribusi Terhadap Produksi Global |
1. Cina | 4,710.0 | 51.8% |
2. India | 1,010.9 | 11.1% |
3. Indonesia | 775.2 | 8.5% |
4. Amerika Serikat | 526.5 | 5.8% |
5. Australia | 455.8 | 5.0% |
6. Rusia | 432.5 | 4.8% |
- Dunia | 9,095.7 | 100.0% |
Sumber: Statistical Review of World Energy 2024 | 73rd edition, Energy Institute (EI)
Artinya, Tiongkok sangat dominan dalam pasar batubara global. Ketika negara ini memutuskan untuk memangkas produksi batubara, maka ini dapat menyebabkan harga batubara global meningkat tajam. Bahkan, pemerintah Tiongkok bisa memutuskan untuk memangkas produksi dalam upaya untuk mendorong harga batubara lebih tinggi supaya perusahaan pertambangan batubara Tiongkok menghasilkan lebih banyak pendapatan. Atau, ketika banjir di Tiongkok utara (khususnya Mongolia Dalam, yang dikenal dengan tambang batubara terbuka skala besarnya dan merupakan kontributor signifikan terhadap total produksi batubara Tiongkok) mempengaruhi pusat-pusat produksi batubara utama negara tersebut, maka hal ini dapat menyebabkan harga batubara global melonjak tinggi. Untuk mengkompensasi penurunan produksi domestik, Tiongkok perlu meningkatkan impor batubara dari negara-negara pengekspor utama lainnya seperti Indonesia dan Australia (sehingga meningkatkan permintaan global akan batubara).
Namun, memang benar bahwa di sebagian besar dunia konsumsi batubara sedang menurun. Grafik A menunjukkan bahwa di Eropa, Amerika Utara, dan 'seluruh dunia', konsumsi batubara telah menurun sejak pertengahan tahun 2000-an (bahkan penurunan ini bisa dikatakan dimulai pada akhir tahun 1980-an karena pergeseran ke sumber energi lain seperti gas alam dan tenaga nuklir).
Namun, konsumsi batubara di Asia Pasifik benar-benar melonjak sejak tahun 2000 (ketika ledakan komoditas tahun 2000-an terjadi), terutama didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat di Tiongkok yang memicu permintaan batubara yang tinggi.
Chart A; Konsumsi Global Batubara per Kawasan 1965-2023:
Sumber: Statistical Review of World Energy 2024 | 73rd edition, Energy Institute
Dan memang benar, Tiongkok juga sangat dominan dalam hal konsumsi batubara. Tabel 2 menunjukkan bahwa Tiongkok menyumbang lebih dari separuh konsumsi batubara global, diikuti oleh India. Meskipun India masih terpaut jauh, negara ini jelas merupakan raksasa yang sedang tumbuh dalam hal konsumsi batubara karena batubara adalah bahan bakar yang krusial (dan terjangkau) untuk banyak industri padat energi di India, termasuk baja, semen, dan tekstil.
Cadangan Batubara Dunia
Menurut Asosiasi Batubara Dunia (World Coal Association), perkiraan cadangan batubara terbukti (di seluruh dunia) saat ini diperkirakan cukup untuk lebih dari 100 tahun dengan tingkat produksi saat ini. Namun, ini hanyalah perkiraan umum. Masa pakai sebenarnya dari cadangan batubara dipengaruhi oleh beberapa variabel penting. Misalnya, peningkatan konsumsi batubara yang kuat di negara-negara berkembang dapat memperpendek masa pakai cadangan. Di sisi lain, pergeseran ke arah sumber energi terbarukan dapat memperpanjang masa pakainya.
Lebih lanjut, kemajuan teknologi seperti teknologi pertambangan yang lebih baik atau pemanfaatan batubara yang lebih efisien dapat meningkatkan aksesibilitas cadangan yang sebelumnya tidak dapat disentuh. Atau, deposit batubara baru bisa ditemukan. Sementara itu, peraturan lingkungan yang lebih ketat dan target pengurangan emisi karbon dapat menyebabkan penurunan konsumsi batubara. Semua hal ini akan memperpanjang masa pakai batubara.
Masa Depan Batubara Tidak Pasti: Perlu Penyesuaian
Indonesia adalah pemain kunci dalam pasar batubara global, tetapi juga perlu berhati-hati karena pasar batubara di Asia sangat dinamis. Perubahan permintaan batubara di Tiongkok dan India dapat secara drastis mengubah pasar batubara. Ini berarti Indonesia perlu sangat menyadari perubahan yang akan datang di negara-negara tersebut. Selain itu, meskipun batubara tetap menjadi sumber energi utama, ada dorongan yang semakin besar untuk sumber energi terbarukan di Asia. Oleh karena itu, sangat penting bagaimana Indonesia akan menavigasi perubahan dan transisi ini, sambil juga melakukan diversifikasi ekspor energinya.
Sampai batas tertentu, bisa berpendapat bahwa Tiongkok dan India menentukan masa depan ekspor batubara bagi Indonesia. Saat ini, Tiongkok dan India sangat bergantung pada batubara untuk sebagian besar pembangkit listrik dan kegiatan industri mereka. Namun, meskipun permintaan batubara mereka yang besar tidak akan tergantikan dalam waktu dekat, kedua negara ini memiliki target energi terbarukan yang ambisius. Hal ini menimbulkan awan gelap atas masa depan ekspor batubara Indonesia.
Namun, transisi dari batubara ke energi terbarukan diperkirakan akan membutuhkan waktu lebih lama dari yang diproyeksikan semula karena tantangan teknologi, keterbatasan infrastruktur jaringan listrik, kendala pendanaan, dan besarnya skala kebutuhan energi Tiongkok dan India.
[Under Construction, 20.03.2025]