Ketika masyarakat keluar dari kemiskinan berarti daya beli mereka menguat, sehingga mereka bisa mulai mengonsumsi lebih banyak produk dan layanan dibanding sebelumnya (atau membeli produk dan layanan yang lebih berkualitas).

Permintaan yang meningkat berarti lebih banyak produk dan layanan harus ditawarkan dan diproduksi di dalam perekonomian Indonesia. Ini tidak hanya menciptakan peluang bisnis baru bagi para wirausahawan (mulai dari pengusaha mikro hingga perusahaan multinasional besar), namun secara otomatis juga menciptakan lapangan kerja. Dan mereka yang mendapatkan pekerjaan (baru) biasanya menikmati lebih banyak pendapatan, sehingga dapat mengkonsumsi lebih banyak. Dengan demikian, ini menjadi virtuous circle (lingkaran kebajikan) yang mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan dan yang mendorong banyak orang keluar dari kemiskinan, memasuki kelas menengah.

Kemiskinan Dalam Sejarah Indonesia

Antara pertengahan tahun 1960-an sampai tahun 1996, waktu Indonesia berada di bawah kepemimpinan Pemerintahan Orde Baru Suharto, tingkat kemiskinan di Indonesia menurun drastis - baik di desa maupun di kota - karena pertumbuhan ekonomi yang kuat dan adanya program-program penanggulangan kemiskinan yang efektif. Selama pemerintahan Suharto angka penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan menurun drastis, dari awalnya sekitar 60 persen dari populasi penduduk Indonesia, sampai sekitar 11 persen pada tahun 1996.

Namun, ketika pada akhir tahun 1990-an Krisis Finansial Asia terjadi, tingkat kemiskinan di Indonesia melejit tinggi, dari 11 persen menjadi 19.9 persen di akhir tahun 1998, yang berarti prestasi yang sudah diraih Orde Baru hancur seketika.

Grafik A; Persentase Penduduk Miskin di Indonesia (% dari Jumlah Total Penduduk Nasional):

Grafik A juga menunjukkan dua puncak lain (yang lebih ringan dari yang terjadi pada tahun 1997), yaitu pada tahun 2006 (setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar bersubsidi satu tahun sebelumnya yang menyebabkan tekanan inflasi yang signifikan) dan pada period 2020-2021 (waktu krisis COVID-19 menimbulkan dampak negatif yang parah). Sementara itu, selama tahun 2013-2015, penurunan kemiskinan mendekati nol karena penyesuaian harga bahan bakar bersubsidi kembali memicu inflasi (walaupun dampaknya kali ini tidak terlalu besar karena harga minyak mentah global saat itu relatif rendah).

Hal yang juga terlihat pada grafik A adalah bahwa tren penurunan kemiskinan menjadi semakin datar setelah tahun 2012. Yang berpengaruh dalam hal ini yaitu semakin sulitnya bagi pemerintah untuk mengentaskan kelompok masyarakat miskin terbawah dari kemiskinan (padahal sebelumnya tidak terlalu sulit bagi pemerintah untuk membantu kelompok yang hidup tidak jauh di bawah garis kemiskinan keluar dari kemiskinan pada tahun-tahun dan dekade-dekade sebelumnya). Oleh karena itu, pemberantasan kemiskinan diperkirakan akan berlanjut dengan lambat di masa depan.

Penting untuk diinformasikan di sini bahwa Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia menggunakan parameter kemiskinan yang berbeda (hal ini akan dibahas lebih terperinci di bawah), yang menjelaskan kenapa data pada grafik A mungkin berbeda dari data yang digunakan pada halaman ini (karena kebanyakan data soal kemiskinan kami peroleh dari BPS).

Perkembangan Terkini

Seperti disebutkan di atas, secara keseluruhan, terdapat penurunan struktural dalam kemiskinan di Indonesia, namun laju pengentasan kemiskinan kini berjalan lambat. Berdasarkan data terakhir BPS, terdapat 25.22 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia pada tahun 2024, atau setara dengan 9,03 persen penduduk nasional.

Tabel di bawah memperlihatkan angka kemiskinan dan ketimpangan - baik relatif maupun absolut - untuk Indonesia (untuk analisis rasio Gini Indonesia, silakan lanjut baca di bagian bawah halaman ini).

Statistik Kemiskinan dan Ketidaksetaraan di Indonesia:

  2019 2020 2021 2022 2023 2024
Kemiskinan Relatif
(% dari populasi)
 9.22 10.19  9.71  9.57  9.36  9.03
Kemiskinan Absolut
(dalam jutaan)
24.78 27.55 26.50 26.36 25.90 25.22
Koefisien Gini/
Rasio Gini
0.380 0.385 0.381 0.381 0.388 0.379
  2013 2014 2015 2016 2017 2018
Kemiskinan Relatif
(% dari populasi)
11.47 10.96 11.13 10.70 10.12  9.66
Kemiskinan Absolut
(dalam jutaan)
28.55 27.73 28.51 27.76 26.58 25.67
Koefisien Gini/
Rasio Gini
0.406 0.414 0.402 0.394 0.391 0.384
  2007 2008 2009 2010 2011 2012
Kemiskinan Relatif
(% dari populasi)
16.6 15.4 14.2 13.3 12.5 11.7
Kemiskinan Absolut
(dalam jutaan)
  37   35 3.25 31.0 30.0 28.7
Koefisien Gini/
Rasio Gini
0.35 0.35 0.37 0.38 0.41 0.41

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Definisi yang Berbeda Mengakibatkan Hasil yang Berbeda

Yang menarik, BPS menggunakan ambang batas kemiskinan yang rendah, sehingga statistik kemiskinan di Indonesia terlihat lebih baik dari kenyataannya. Ambang batas yang digunakan BPS ditetapkan sebesar Rp 582,932 (atau sekitar USD $36) per kapita, per bulan. Ini sama dengan (kira-kira) USD $1.19 per hari.

Bahkan menurut standar Indonesia, itu adalah standar yang cukup rendah. Sebagai perbandingan, Bank Dunia mendefinisikan “kemiskinan ekstrem” sebagai mereka yang hidup dengan pendapatan kurang dari USD $2.15 per hari. Jadi, jika kita menerapkan standar Bank Dunia, statistik kemiskinan di Indonesia akan menjadi jauh lebih buruk. Mungkin puluhan juta orang akan masuk dalam kelompok kemiskinan karena Indonesia memiliki banyak penduduk yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan BPS.

Ancaman Inflasi Harga Pangan

Stabilitas harga pangan (khususnya beras) sangat penting bagi Indonesia dalam pengentasan kemiskinan karena masyarakat Indonesia menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk membeli beras (antara 22-26 persen dari pendapatan yang dapat dibelanjakan). Komoditas pangan penting lainnya yang dikonsumsi oleh masyarakat miskin adalah telur ayam, daging ayam, mie instan, gula pasir dan roti.

Jadi, tekanan harga beras (misalnya karena gagal panen) dapat menimbulkan dampak serius bagi masyarakat miskin atau yang hampir miskin. Faktanya, tekanan inflasi yang kecil dapat mendorong sejumlah besar masyarakat yang hampir miskin ke dalam jurang kemiskinan.

Kemiskinan dan Distribusi Geografis Indonesia

Salah satu ciri khas soal kemiskinan di Indonesia adalah adanya perbedaan besar dalam hal kemiskinan relatif dan absolut berdasarkan distribusi geografis.

Meskipun secara absolut lebih dari separuh penduduk miskin di Indonesia tinggal di Jawa (yaitu pulau yang paling padat penduduknya di Indonesia), secara relatif provinsi-provinsi di wilayah timur Indonesia menunjukkan angka kemiskinan yang jauh lebih tinggi. Tabel di bawah ini menunjukkan lima provinsi di mana kemiskinan paling tinggi secara relatif. Semua provinsi ini terletaknya di luar pulau Jawa, Sumatra, dan Bali (tiga pulau ini yang paling maju dan terletaknya di bagian barat Indonesia).

Provinsi dengan Tingkat Kemiskinan Relatif yang Tertinggi (2024):

Provinsi Kemiskinan¹
Papua Pegunungan    32.97%
Papua Tengah    29.76%
Papua Barat    21.66%
Nusa Tenggara Timur    19.48%
Papua Baratdaya    18.13%

¹ persentase dari jumlah total penduduk di provinsi
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Tingkat kemiskinan di propinsi-propinsi di Indonesia Timur ini, di mana sebagian besar penduduknya adalah petani, kebanyakan ditemukan di wilayah pedesaan. Di daerah tersebut masyarakat adat sudah lama hidup di pinggir proses perkembangan ekonomi dan jauh dari program-program pembangunan (yang diselenggarakan pemerintah atau lembaga internasional). Migrasi ke daerah perkotaan adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pekerjaan dan - dengan demikian - menghindari kehidupan dalam kemiskinan.

Bertentangan dengan angka kemiskinan relatif di Indonesia Timur, tabel di bawah ini menunjukkan angka kemiskinan absolut di Indonesia yang berkonsentrasi di pulau Jawa dan Sumatra. Kedua pulau ini adalah pulau terpadat (populasi) di Indonesia.

Propinsi dengan Angka Kemiskinan Absolut Tinggi (2024):

Province Orang Miskin
(dalam jutaan)
Jawa Timur        3.98
Jawa Barat        3.85
Jawa Tengah        3.70
Sumatra Utara        1.23
Nusa Tenggara Timur        1.13

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

[Halaman ini sedang direvisi, 14 Juli 2024]

Kemiskinan di Indonesia: Kota dan Desa

Indonesia telah mengalami proses urbanisai yang cepat dan pesat (sama seperti tren internasional belakangan ini). Sejak pertengahan tahun 1990-an jumlah absolut penduduk pedesaan di Indonesia mulai menurun dan saat ini lebih dari setengah total penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan (padahal pada tengah 1990-an hanya sekitar sepertiga populasi Indonesia tinggal di daerah perkotaan).

Kecuali beberapa propinsi, wilayah pedesaan di Indonesia relatifnya lebih miskin dibanding wilayah perkotaan. Angka kemiskinan pedesaan Indonesia (persentase penduduk pedesaan yang hidup di bawah garis kemiskinan desa tingkat nasional) turun hingga sekitar 20 persen di pertengahan 1990-an tetapi melonjak tinggi ketika Krisis Finansial Asia (Krismon) terjadi antara tahun 1997 dan 1998, yang mengakibatkan nilainya naik mencapai 26 persen. Setelah tahun 2006, terjadi penurunan angka kemiskinan di pedesaan yang cukup signifikan seperti apa yang ditunjukkan tabel di bawah ini, walau slowdown ekonomi Indonesia di antara tahun 2011 dan 2015 membatasi penurunan tersebut.

Statistik Kemiskinan Pedesaan di Indonesia:

  2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Kemiskinan Pedesaan¹ 21.8 20.4 18.9 17.4 16.6 15.7 14.3 14.4 13.8 14.2 14.1

¹ persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan desa
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Angka kemiskinan kota adalah persentase penduduk perkotaan yang tinggal di bawah garis kemiskinan kota tingkat nasional. Tabel di bawah ini, yang memperlihatkan tingkat kemiskinan perkotaan di Indonesia, menunjukkan pola yang sama dengan tingkat kemiskinan desa: semakin berkurang mulai dari tahun 2006 tetapi kinerja ini terbatasi di antara tahun 2012-2015 karena slowdown perekonomian Indonesian. Slowdown ini terutama disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi global yang lemah, penurunan harga komoditas, dan iklim suku bunga Bank Indonesia yang tinggi pada periode 2013-2015 (demi melawan inflasi yang tinggi, mendukung rupiah, dan membatasi defisit transaksi berjalan).

Statistik Kemiskinan Perkotaan di Indonesia:

  2006 2007 2008 2009 2010 2011
2012 2013 2014 2015 2016
Kemiskinan Kota¹ 13.5 12.5 11.6 10.7  9.9  9.2  8.4  8.5  8.2  8.3  7.8

¹ persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan kota
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Ketidaksetaraan di Indonesia yang semakin Meluas?

The Gini ratio (or coefficient), which measures income distribution inequality, is an important indicator to assess the degree of 'righteousness' in a country (although this indicator does have some flaws). A Gini coefficient of 0 indicates perfect equality, while a coefficient of 1 indicates perfect inequality. It is interesting to note that a sharp rise in income distribution inequality occurred in Indonesia in the post-Suharto era. Thus, the period of democracy and decentralization in the post-Suharto era created an environment that allowed for rising inequality in Indonesian society: while in the 1990s Indonesia's Gini ratio stood at an average of 0.30, it rose to an average of 0.39 in the 2000s, and remained stable at 0.41 in the years 2011-2015 before easing slightly to 0.40 in 2016.

It actually is a painful fact that Indonesia's rising inequality emerged while - at the same time - the overall economy expanded from a USD $163.8 billion economy in 1999 to a USD $861.9 billion economy in 2015 (and while Indonesia became a member of the G20 group of major economies in 2008)

A World Bank report that was released in December 2015 claims that only the richest 20 percent of Indonesia's population have enjoyed the fruits of a decade-long economic growth, implying that 80 percent of the population (or 200 million people in absolute terms) are left behind. These are alarming figures. In fact, after China, Indonesia saw the highest rise in income distribution inequality between the 1990s and the 2000s among Asian countries:

Asian Countries with the Highest Average Gini Ratio:

Country Gini Ratio in
 the 1990s
Gini Ratio in
 the 2000s     
Difference
China      0.34      0.45     +0.11
Indonesia      0.30      0.39     +0.09
Laos      0.32      0.38     +0.06
India      0.34      0.39     +0.05
Vietnam      0.37      0.37      0.00
Cambodia      0.39      0.38     -0.01
Philippines      0.45      0.44     -0.01
Malaysia      0.49      0.47     -0.02
Thailand      0.46      0.41     -0.05

Source: World Bank

In Indonesia the Gini ratio is also closely related to the movement of commodity prices. The rising trend of the nation's Gini ratio in the 2000s came amid the commodities boom, while the Gini ratio stabilized after commodity prices collapsed in 2011. Therefore, rising or falling commodity prices apparently particularly affect the top 20 percent of the Indonesian population. Lower commodity prices weakens this group's incomes and purchasing power.

A high degree of inequality in society is a threat because it not only jeopardizes social cohesion but it also jeopardizes political and economic stability. Moreover, research conducted by the World Bank shows that countries with more equal wealth distribution tend to grow faster and more stably compared to those countries that exhibit a high degree of inequality.

Besides overall nationwide inequality in Indonesia, there also exists a high degree of inequality among the various regions within the country. For example the island of Java, particularly the Greater Jakarta region, contributes about 60 percent to the total Indonesian economy. Direct investment is also highly concentrated on this island causing rising inequality between Java and the outer islands.

What can the government do to combat income distribution inequality in Indonesia? Key strategies would be to increase employment opportunities for Indonesians by encouraging the development of labor-intensive sectors (particularly the agriculture sector and manufacturing industry). To achieve this, it is important to attract direct investment in these labor-intensive industries (implying the government needs to continue its focus on improving Indonesia's investment climate).

Meanwhile, the government needs to focus on the development of new economic growth centers outside the island of Java in order to reduce inequality (structurally) among the various regions. Infrastructure development in the remote regions is one strategy to achieve this (which will cause the so-called multiplier effect). Lastly, education and health should also be improved nationwide as higher education and healthy lifestyles tend to lead to higher incomes.

Namun, kita masih dapat mempertanyakan metodologi koefisien Gini ini karena ia membagi penduduk dalam lima kelompok, masing-masing berisi 20 persen dari populasi: dari 20 persen terkaya sampai ke 20 persen termiskin. Selanjutnya, koefisien ini mengukur kesetaraan (dan ketimpangan) antara kelompok-kelompok tersebut. Ketika menggunakan koefisien ini untuk Indonesia masalah yang timbul adalah negara ini memiliki karakter ketidakseimbangan ekstrim dalam setiap kelompoknya, sehingga membuat hasil koefisien Gini kurang selaras dengan kenyataan.

Update terakhir: 12 Januari 2017