Apakah Bank Indonesia Memiliki Ruang untuk Memotong Suku Bunga Acuannya?
Karena tingkat inflasi Indonesia telah menurun menjadi 6,25% pada basis year-on-year (y/y) pada bulan Oktober 2015 dari 6,83% (y/y) di bulan sebelumnya, dan karena inflasi Indonesia akan semakin menurun secara mencolok di dua bulan terakhir tahun 2015 yang disebabkan oleh menghilangnya dampak dari kenaikan harga bahan bakar bersubsidi pada November 2014, bank sentral Indonesia (Bank Indonesia) tampaknya memiliki ruang untuk memotong suku bunga acuannya yang relatif tinggi saat ini, sehingga memungkinkan akselerasi aktivitas ekonomi.
Setelah menetapkan suku bunga acuannya (BI rate) pada level yang terendah dalam sejarah modern pada 5,75% dari Februari 2012 sampai Juni 2013, Bank Indonesia menaikkan kebijakan suku bunganya secara bertahap, namun agresif menjadi 7,75%. Hal ini terjadi setelah inflasi meningkat akibat reformasi harga bahan bakar bersubsidi 2013-2015 dan juga berakhirnya program quantitative easing Federal Reserve (dan ancaman kenaikan suku bunga Amerika Serikat) yang menyebabkan capital outflows besar-besaran (dan akibatnya pelemahan tajam nilai tukar rupiah). BI rate yang lebih tinggi juga diimplementasikan untuk mengurangi defisit transaksi berjalan yang besar. Pada Februari 2015, Bank Indonesia mengejutkan pasar dengan memotong BI rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,50% sehingga menjadi bank sentral ke-18 yang memotong kebijakan moneternya di 2015. Bank sentral Indonesia membuat kebijakan ini karena yakin bahwa inflasi terkontrol.
Inflasi di Indonesia, Target Inflasi Bank Indonesia & BI Rate 2009-2015:
2009 | 2010 | 2011 | 2012 | 2013 | 2014 | 2015 | |
Inflasi (annual percent change) |
4.8 | 5.1 | 5.4 | 4.3 | 8.4 | 8.4 | 3.0¹ |
Target Inflasi Bank Indonesia (annual percent change) |
4.5 | 5.0 | 5.0 | 4.5 | 4.5 | 4.5 | 4.0 |
Bank Indonesia Rate (percent at year-end) |
6.50 | 6.50 | 6.00 | 5.75 | 7.50 | 7.75 | 7.50¹ |
¹ menunjukkan prognosis
Sumber: Bank Dunia dan Bank Indonesia
Meskipun begitu, tingkat suku bunga di Indonesia tetap tinggi dan efek negatifnya adalah hal ini berkontribusi pada perlambatan pertumbuhan ekonomi dari negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini. Di kuartal 2 tahun 2015, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia berekspansi pada laju terlambat dalam enam tahun terakhir pada 4,67% (y/y). Karenanya, banyak politisi dan pebisnis telah berkali-kali meminta bank sentral untuk kembali memotong BI rate. Namun, permohonan ini tidak didengarkan karena Bank Indonesia lebih memilih stabilitas keuangan dibandingkan pertumbuhan ekonomi. Bank sentral terutama kuatir tentang nilai tukar rupiah yang rapuh. Sejauh ini di tahun ini, rupiah telah melemah hampir 10% terhadap dollar AS karena ancaman kenaikan suku bunga AS. Meskipun begitu, di beberapa minggu terakhir nilai rupiah telah menguat secara signifikan karena para investor mulai percaya bahwa Federal Reserve akan menunda menaikkan Fed Fund sampai tahun depan.
Rupiah Indonesia versus Dollar AS (JISDOR):
| Source: Bank IndonesiaDengan inflasi yang terkontrol (realisasi inflasi Indonesia tahun 2015 mungkin akan jatuh di bawah cakupan target bank sentral sebesar 3-5% y/y), pemotongan BI rate menjadi lebih realistis. Kendati begitu, masih ada tekanan-tekanan yang terjadi karena ancaman lebih lanjut dari pengetatan moneter Amerika Serikat (AS) dan kekuatiran mengenai perlambatan ekonomi Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Setelah pertemuan kebijakan Bank Indonesia di bulan Oktober, bank sentral membuka diri terhadap kemungkinan pemotongan BI rate dengan menyatakan bahwa "Bank Indonesia percaya bahwa tekanan-tekanan pada stabilitas makroekonomi telah menurun, membuka ruang untuk melonggarkan kebijakan moneter." Meskipun begitu, di pernyataan yang sama disebutkan bahwa ketidakjelasan yang tinggi di pasar global saat ini berarti Bank Indonesia tetap waspada dan memonitor risiko-risiko global. Kebijakannya akan "terus untuk berfokus pada jangka waktu dekat, pada tindakan-tindakan menstabilkan mata uang dengan terus mempertahankan stabilitas rupiah, memperkuat manajemen likuiditas rupiah dan juga permintaan serta penawaran untuk mata uang asing."
Karena kebijakan finansial Bank Indonesia yang berhati-hati di beberapa tahun terakhir, kami mengasumsikan bank sentral akan mempertahankan suku bunga acuannya pada 7,50% di beberapa bulan mendatang karena tindakan ini akan mendorong inflasi menjadi sekitar 3% (y/y) pada akhir tahun, mendukung nilai rupiah, dan berkontribusi memperbaiki neraca transaksi berjalan. Kendati begitu, apabila data makroekonomi AS pada kuartal 3 tahun 2015 ternyata lamban, membatasi ruang untuk kenaikan Fed Fund Rate pada Desember 2015, maka Bank Indonesia dapat memutuskan untuk memotong BI rate sebesar 25 basis poin sebelum akhir tahun.
Bank investasi asal AS Morgan Stanley menyatakan bahwa Indonesia memiliki ruang untuk memotong suku bunga acuannnya sebesar 50 sampai 75 basis poin di 2016 tanpa merusak kondisi makroekonomi. Dalam sebuah pernyataan Morgan Stanley mencatat: "[Morgan Stanley] highlights that it is real rate differentials [adjusted to the effects of inflation] which will drive portfolio debt flows and hence currency. As such, we note that Indonesia’s real rate differentials relative to the US are expected to become more favorable even with the BI rate cuts that we expect and the prospective Fed rate hikes."
Bahas
Silakan login atau berlangganan untuk mengomentari kolom ini