Penjelasan Defisit Transaksi Berjalan Indonesia
Sejak akhir 2011 Indonesia telah dibebani oleh defisit transaksi berjalan struktural yang menguatirkan baik para pembuat kebijakan maupun para investor (asing). Meskipun pihak berwenang di Indonesia telah mengimplementasikan reformasi kebijakan dan penyesuaian perekonomian di beberapa tahun terakhir, defisit transaksi berjalan Indonesia hanya sedikit berubah di 2015. Baik Bank Dunia maupun Bank Indonesia memprediksi bahwa defisit transaksi berjalan akan tetap berada sedikit di bawah 3% dari produk domestik bruto (PDB) di 2015, sangat dekat dengan batasan yang memisahkan defisit yang sustainable dan yang unsustainable.
Apa yang dimaksud dengan Defisit Transaksi Berjalan?
Neraca transaksi berjalan adalah alat ukur terluas untuk perdagangan internasional Indonesia. Ini mencakup transaksi barang, jasa, pendapatan faktor produksi (dari aset dan tenaga kerja), dan juga transfer uang. Oleh karena itu, kalau sebuah negara mencatat defisit transaksi berjalan ini berarti negara ini menjadi peminjam neto dari negara-negara lain di dunia dan karenanya membutuhkan modal atau aliran finansial untuk membiayai defisit ini.
Penting untuk menekankan bahwa defisit transaksi berjalan tidak selalu buruk. Serupa dengan arus kas negatif sebuah perusahaan, defisit ini bisa menjadi hal yang positif apabila dana ini digunakan untuk tujuan-tujuan investasi produktif (yang menghasilkan aliran pendapatan di masa mendatang) seperti pembangunan industri atau infrastruktur. Tetapi kalau defisit ini hanya digunakan untuk konsumsi, terjadi ketidakseimbangan struktural karena defisit tidak menghasilkan aliran pendapatan di masa mendatang. International Monetary Fund (IMF) baru-baru ini mengatakan bahwa defisit transaksi berjalan sebesar 1,5% dari PDB adalah normal untuk Indonesia. Meskipun begitu, walaupun defisit dapat menjadi suatu kenormalan, defisit ini tetap menyebabkan tumpukan liabilitas neto pada luar negeri dan hal ini mungkin memperbesar risiko seiring dengan waktu.
Karena defisit transaksi berjalan adalah data statistik yang penting, para investor (di pasar finansial dan saham) disarankan untuk mengambil sedikit waktu untuk belajar mengenai neraca transaksi berjalan sebuah negara sebelum berinvestasi dalam aset apa pun. Adalah sebuah fakta yang diketahui umum bahwa negara-negara yang dibebani defisit transaksi berjalan sangat rentan pada capital outflows pada masa-masa guncangan perekonomian. Contohnya waktu mantan pimpinan Federal Reserve Ben Bernanke mengumumkan pada bulan Mei 2013 bahwa bank sentral Amerika Serikat (AS) sedang mempertimbangkan untuk mengurangi program quantitative easing yang berjumlah besar (memicu ketidakjelasan dan volatilitas global yang sangat besar), Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang mendapatkan dampak paling buruk.
Dua grafik di bawah ini menunjukkan bahwa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah mulai sangat melemah sejak akhir Mei 2013 setelah pernyataan Bernanke karena para investor asing menarik dana keluar dari pasar Indonesia. Kendati baik saham maupun rupiah menikmati dampak positif dari “efek Jokowi” (merujuk pada pengumuman pencalonan Joko Widodo sebagai presiden di awal 2014 dan ikut menjadi sebab tercatatnya inflow portofolio pada tahun itu), rupiah segera kembali melemah (menjelang pengetatan moneter AS lebih lanjut yaitu kenaikan suku bunga AS) sementara saham (meskipun volatilitas yang tinggi) mampu menunjukkan trend menaik (sampai dengan triwulan kedua tahun 2015).
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG):
Rupiah Indonesia versus Dollar AS (JISDOR):
| Source: Bank IndonesiaMengapa Indonesia Dibebani oleh Transaksi Berjalan Sejak Akhir 2011?
Karena lambatnya pertumbuhan perekonomian global, terutama berkurangnya kecepatan pertumbuhan pembangunan di Republik Rakyat Tiongkok (mitra dagang utama Indonesia), ekspor Indonesia telah jatuh drastis sejak 2011. Indonesia mulai mencatat defisit transaksi berjalan di kuartal ke-4 tahun 2011, dan tetap negatif sejak saat itu. Penurunan permintaan dan harga komoditi global menyebabkan shok perdagangan yang besar. Indonesia, sebuah negara pengekspor komoditi yang besar, mengalami penurunan pendapatan ekspor komoditi menjadi seperenamnya selama periode 2011-2014. Terlebih lagi, untuk perdagangan dari komoditi-komoditi utamanya (seperti batubara dan minyak sawit mentah), pendapatan berkurang setengahnya.
Oleh karena itu, performa ekspor Indonesia menurun tajam sejak 2011. Impor, di sisi lain, bertumbuh karena pemerintah Indonesia pada saat itu mempertahankan program subsidi bahan bakarnya yang sudah berlangsung selama beberapa dekade. Program ini, yang bertujuan untuk melindungi segmen masyarakat Indonesia yang lebih miskin, masih masuk akal di tahun 1980an dan 1990an waktu Indonesia adalah sebuah eksportir minyak neto (meskipun subsidi-subsidi semacam ini dalam jangka panjang selalu menganggu perekonomian karena biaya-biaya transportasi yang dibuat-buat rendah dan tidak mungkin untuk melanjutkan keadaan ini karena minyak adalah sumberdaya yang akan habis). Meskipun begitu, waktu Indonesia menjadi importir minyak neto di pertengahan 2000an (karena penurunan tajam hasil produksi minyak dikombinasikan dengan permintaan domestik yang cepat bertumbuh untuk bahan bakar) defisit perdagangan minyak & gas bertumbuh.
Dalam Indonesia Economic Quarterly terbaru (Juli 2015), Bank Dunia menyatakan bahwa “berkurangnya surplus transaksi perdagangan produk-produk non-minyak & gas [Indonesia] berakibat, untuk hampir setengah (49%), dari penurunan neraca transaksi berjalan sebesar 30,5 miliar dollar AS pada periode 2010-2014, perdagangan minyak & gas sedikit di bawah sepertiga (29%), dan peningkatan outflow pendapatan sekitar seperempat (23%, sebagian besar terjadi di 2010).”
Di kuartal kedua tahun 2013 Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan dengan rekor tertinggi (dalam sejarah resen) sebesar 10,1 miliar dollar AS, atau 4,4% dari PDB. Walaupun biasanya alasan musiman mengakibatkan defisit transaksi berjalan Indonesia cenderung meningkat di kuartal kedua, kenaikan ini tetap berada pada tingkat sangat menguatirkan. Secara umum, defisit transaksi berjalan sampai 3% dari PDB dianggap masih dapat ditangani. Perlu diingat bahwa defisit transaksi berjalan tidak selalu buruk. Meskipun begitu, seperti yang telah disebutkan di atas, alasan utama untuk defisit transaksi berjalan Indonesia adalah menggelembungnya biaya impor minyak Indonesia. Oleh karena itu, defisit ini tidak digunakan untuk tujuan-tujuan investasi produktif (menghasilkan aliran pendapatan di masa mendatang) namun karena konsumsi bahan bakar masyarakat yang terus meningkat.
Penyesuaian Kebijakan untuk Melawan Defisit Transaksi Berjalan
Karena impor minyak yang menggelembung adalah salah satu masalah utama, pemerintah Indonesia (waktu itu masih di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono) memutuskan untuk memotong subsidi bahan bakar (untuk pertama kalinya sejak 2008) di akhir Juni 2013 dan secara efektif menaikan harga gasoline sebesar 44% dan harga diesel 22%. Hal ini dilakukan karena subsidi-subsidi ini mengancam untuk membesar menjadi 30 miliar dollar AS di 2013 dan mendorong defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara jauh di atas batasan yang diharapkan yaitu 3% dari PDB. Reformasi-reformasi yang lebih terbaru, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo saat ini, telah memotong subsidi bahan bakar yang dianggarkan menjadi 0,6% dari PDB, mengurangi subsidi energi yang dianggarkan (baik untuk bahan bakar dan listrik) menjadi 1,2% dari PDB di 2015, menurun dari rata-rata 3,3% di 2011-2014. Reformasi-reformasi ini seharusnya berkontribusi pada keberlanjutan stabil masa depan dari posisi eksternal Indonesia dan mengurangi risiko-risiko fiskal dari - dan meningkatkan daya tukar belanja - pelemahan rupiah lebih lanjut.
Setelah kondisi keuangan eksternal menurun secara signifikan sejak pertengahan 2013, Bank Indonesia memutuskan untuk mengetatkan posisi moneternya melalui kenaikan suku bunga dan tindakan-tindakan makroprudensial yang bertujuan mengurangi permintaan domestik (karenanya mengurangi impor). Suku bunga acuan Indonesia (BI rate), yang mengalami rekor rendah pada 5,75% sejak Februari 2012, ditingkatkan secara bertahap, namun agresif, dari Juni 2013 sampai November 2013 dari 5,75% menjadi 7,50%. Meskipun tindakan ini terutama dilakukan untuk melawan inflasi yang meningkat sejak kenaikan harga bahan bakar bersubsidi setelah Juni 2013, tingkat suku bunga yang lebih tinggi juga mengurangi permintaan domestik untuk impor.
Manajemen nilai tukar Bank Indonesia yang fleksibel (sejak pertengahan 2013) juga berkontribusi pada stabilitas makroekonomi. Rupiah telah melemah kira-kira 33% terhadap dollar AS selama dua tahun terakhir karena bank sentral mengadopsi pendekatan yang lebih tidak terlibat untuk nilai tukar mata uang rupiah. Bank Dunia mencatat bahwa “pelemahan dalam konteks efektif yang sesungguhnya (yaitu diukur melalui pengaruh perdagangan) telah menjadi lebih lumayan pada 10%, dan sebuah penyesuaian awal yang tajam di pertengahan kedua tahun 2013 telah diikuti oleh trend pelemahan yang secara umum teratur.” Pendekatan dari bank sentral membantu meringankan dampak shock perdagangan dengan mengurangi kejatuhan harga ekspor dalam konteks rupiah. Ini juga meningkatkan likuiditas perdagangan mata uang dan mendukung pemulihan dalam cadangan devisa kotor.
Dampak dari Penyesuaian Kebijakan pada Defisit Transaksi Berjalan Indonesia
Meskipun subsidi bahan bakar telah hampir seluruhnya dihapus di awal 2015, harga minyak mentah global rendah, dan pengurangan pertumbuhan permintaan domestik, defisit transaksi berjalan Indonesia tetap pada 2,9% dari PDB di 2014 dan diproyeksikan untuk tetap pada level itu di 2015. Alasan utama di balik ini adalah, sebagai dampak perlambatan perekonomian global (dan sangat melambatnya pertumbuhan perekonomian di Republik Rakyat Tionghoa), performa ekspor Indonesia terus menurun. Sementara impor Indonesia menurun secara signifikan (sebanyak 4,5% pada basis year-on-year di 2014), pendapatan ekspor Indonesia terus menurun (sebanyak 3,7% pada basis year-on-year di 2014) juga. Secara umum, rendahnya ekspor komoditi neto Indonesia tetap menurunkan neraca transaksi berjalan Indonesia, sementara defisit perdagangan manufaktur membaik secara bertahap (terutama karena penurunan impor sejak 2013), sementara penurunan yang lebih terbaru pada harga minyak global telah membantu menaikkan neraca perdagangan barang Indonesia kembali pada surplus.
Memang betul bahwa di kuartal pertama tahun 2015 defisit transaksi berjalan Indonesia berada pada 1,8% dari PDB. Meskipun begitu, hal ini disebabkan oleh faktor-faktor musiman yang menguntungkan. Dibandingkan dengan kuartal yang sama di tahun lalu, defisit transaksi berjalan hanya membaik 0,1%.
Defisit Transaksi Berjalan Indonesia 1981-2015 (persen dari PDB):
Kesimpulan Akhir
Defisit transaksi berjalan Indonesia disebabkan oleh campuran kompleks dari berbagai faktor, kebanyakan adalah faktor struktural dan berjangka panjang. Karena negara ini masih pada tahap yang relatif awal dari konvergensi perekonomian menjadi mitra perdagangan berpendapatan tinggi, hal ini menyebabkan tingkat pertumbuhan yang cepat, return modal domestik yang lebih tinggi, dan kelebihan belanja investasi dibandingkan simpanan domestik. Semua ini cenderung membawa transaksi berjalan kepada defisit. Tindakan-tindakan kebijakan untuk memaksa transaksi berjalan Indonesia menjadi surplus, contohnya dengan langsung mengurangi impor melalui tindakan-tindakan kebijakan atau melalui kontraksi fiskal, akan mendorong perekonomian keluar dari jalur trendnya, dengan harga mengurangi pertumbuhan perekonomian. Meskipun begitu, untungnya, Indonesia tidak harus membayar harga ini. Dengan asumsi bahwa tidak ada kesulitan-kesulitan keuangan jangka pendek, defisit transaksi berjalan berukuran moderat bisa berjalan selamanya, apabila defisit ini berkontribusi pada kecepatan yang cukup dari ekspansi perekonomian yang struktural.
Pemerintah Indonesia seharusnya berfokus pada kebijakan-kebijakan yang meningkatkan integrasi Indonesia pada pasar global dan berinvestasi pada pembangunan infrastruktur dan juga sumberdaya manusia untuk mengatasi kesenjangan kemampuan. Tindakan-tindakan ini akan mendongkrak daya kompetisi internasional Indonesia dan menghasilkan pertumbuhan, pekerjaan, dan pendapatan. Meningkatnya investasi langsung asing, dibutuhkan demi mendapatkan teknologi dan pengetahuan dan juga untuk menjadi pusat produksi dan ekspor regional, dapat dilakukan dengan menangani ketidakjelasan peraturan dan biaya-biaya tinggi di Indonesia. Investasi langsung asing adalah sumber yang besar dan relatif stabil untuk pembiayaan eksternal.
Bahas
Silakan login atau berlangganan untuk mengomentari kolom ini